SUARA PEMBACA

PPN 12 persen, Solusi atau Masalah Baru?

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen oleh pemerintah disebut-sebut untuk mendanai program makan gratis bagi anak usia sekolah.

Meski tujuan ini terlihat mulia, dampaknya pada rakyat justru sangat memberatkan. Lebih dari 113.000 rakyat telah menandatangani petisi menolak kebijakan tersebut, menunjukkan ketidaksetujuan masyarakat yang merasa semakin terjerat oleh beban pajak tanpa diiringi peningkatan pendapatan. Dengan harga barang dan jasa yang terus meningkat, rakyat semakin terhimpit, sementara kesejahteraan mereka tak kunjung membaik.

Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan PPN ini tidak akan menurunkan daya beli masyarakat, sedangkan kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menyatakan bahwa dampaknya pada pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: Apakah pemerintah benar-benar mengerti kondisi ekonomi rakyat, atau hanya mencari alasan untuk membenarkan kebijakan yang tidak disukai masyarakat?

Meskipun pemerintah membatasi barang dan jasa tertentu yang dikenai kenaikan PPN serta memberikan program bantuan sosial dan subsidi listrik, kebijakan ini tetap dirasakan memberatkan oleh masyarakat.

Biaya hidup yang meningkat akibat kenaikan PPN tidak sepenuhnya terkompensasi oleh program-program tersebut. Pada akhirnya, masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi pihak yang paling menderita, menghadapi kenaikan harga dengan penghasilan yang jauh dari kata memadai.

Kebijakan ini mencerminkan pendekatan populis otoriter, di mana pemerintah merasa cukup hanya dengan memberikan bansos, subsidi, dan pengaturan PPN pada barang tertentu.

Aspirasi rakyat yang disampaikan melalui petisi penolakan kenaikan PPN diabaikan, menandakan kurangnya dialog antara pemerintah dan rakyat. Padahal, kebijakan yang baik seharusnya mencerminkan kebutuhan dan suara masyarakat, bukan sekadar keputusan sepihak yang memberatkan mereka.

Dalam perspektif Islam, pemimpin atau penguasa memiliki peran sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya.

Islam menetapkan bahwa pemimpin harus mengurus kesejahteraan setiap individu secara adil dan memastikan kebijakan yang diambil tidak menyulitkan kehidupan rakyat. Prinsip ini menekankan bahwa kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar retorika politik atau upaya mempertahankan legitimasi kekuasaan.

Kenaikan PPN ini menjadi refleksi bahwa kebijakan pemerintah saat ini belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.

Dalam sistem Islam, kebijakan akan dirancang untuk meringankan beban rakyat, bukan membebani mereka. Pemimpin dituntut untuk benar-benar memahami kondisi rakyatnya, mendengarkan suara mereka, dan bekerja untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, rakyat dapat merasakan keadilan dan keberpihakan dari pemimpin yang bertanggung jawab sesuai prinsip Islam.[]

Ni’matul Yumna Nur Aliyah. Mahasiswa Jurusan PGSD di Universitas Negeri Yogyakarta.

Artikel Terkait

Back to top button