PPN Dinaikkan, Suara Rakyat Diabaikan
Baru-baru ini, kenaikan PPN 12 persen menjadi buah bibir hangat di tengah masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebutkan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yakni makan bergizi gratis merupakan salah satu alasan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen resmi berlaku mulai 1 Januari 2025.
Tentu banyak pihak yang tak setuju, maka digelarlah aksi damai di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, guna menentang rencana kenaikan pajak PPN 12 persen tersebut. Peserta aksi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga kelompok pencinta budaya Jepang (Wibu) dan Korea (K-popers).
Petisi penolakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen ini telah ditandatangani lebih dari 113.000 orang, dan sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu dilakukan saat aksi damai tersebut berlangsung.
Kendati petisi penolakan telah dilayangkan, nampaknya kenaikan PPN tetap diberlakukan. Meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN, penderitaan rakyat tak terelakkan.
Sejujurnya, ini adalah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Dimana salah satu poin gerak populis otoriter adalah adanya politik “gentong babi”, negara melakukan pembangunan yang jor-joran, seolah tampak hebat dan baik di hadapan rakyat, merasa cukup sudah memberikan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN.
Tanpa sadar semua itu didasari dengan utang luar negeri yang harus ditanggung rakyat dengan membayar pajak. Padahal kebijakan tersebut membawa kesengsaraan pada rakyat. Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN pun diabaikan.
Dari sini lah, kita semakin sadar bahwa Islam diturunkan sebagai solusi problem manusia. Lain halnya dengan sistem yang ada saat ini, Islam menempatkan penguasa sebagai raa’in (pemelihara) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Nabi saw bersabda:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِعَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” [HR Muslim]
Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Penguasa wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Bahkan, Islam mewajibkan penguasa membuat Kebijakan yang tidak menyulitkan hidup rakyat.
Rasulullah Saw memperingatkan bahwa penguasa yang bersikap seenaknya tanpa memperhatikan kondisi rakyatnya ialah seburuk-buruk penguasa:
إِنَّ شَرَّ الوُلاَةِ الحُطَمَةُ.
“Sesungguhnya seburuk-buruknya para penguasa adalah penguasa al-huthamah (diktator).” [HR. Al-Bazzar].
Menurut pendapat para ulama, Pemimpin al-huthamah (diktator) adalah pemimpin yang menggunakan politik tangan besi terhadap rakyatnya dengan memaksakan rakyat meskipun tidak di sukai oleh rakyatnya.
Semua ini akan tercipta apabila tangan kita terulur menggenggam syariat Islam, serta kaki kita menapaki jalan Islam sebagai pedoman secara paripurna. Wallahu A’lam. []
Rida Asnuryah, Guru TK, Warga Bandung Barat.