Prabowo Sosok Enigma
Berkaca pada negara-negara yang memindahkan ibu kota, tenggat empat tahun mustahil bisa dicapai. Proyek ini sangat tidak layak, membebani APBN secara substansial, di tengah ruang fiskal yang terbatas akibat keharusan membayar cicilan bunga utang yang besar, industri manufaktur yang merosot, dan ketidakpastian geopolitik global.
Pada saat bersamaan, Prabowo harus mewujudkan program-program populisnya yang menyita anggaran sangat besar dan berpotensi menciptakan korupsi menyeluruh dari pusat sampai ke pelosok desa.
Prabowo sebagai sosok enigma juga terlihat dari kabinet gemuk yang dibentuknya. Sebagai orang yang memahami ekonomi lumayan baik dan pemahamannya yang memadai mengenai kondisi geopolitik global, kabinet yang dibangunnya beserta program-program pembangunan ekonomi-sosial yang ambisius, tidak mencerminkan kearifan pemimpin di tengah tekanan ekonomi dan politik internal dan eksternal.
Ada gap yang cukup lebar antara apa yang ingin dicapai dan sumber daya yang dipunyai. Belum lagi kebijakan yang dikeluarkan.
Nampaknya, Prabowo lebih memprioritaskan stabilitas ketimbang kesejahteraan. Itu terlihat dari upayanya merangkul semua pihak dengan biaya sangat mahal.
Mungkin ini bawaan pikiran Orde Baru di mana Prof Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah dari Prabowo, adalah arsitek ekonominya. Bagi Prabowo, tanpa oposisi, pemerintahan akan lebih efektif.
Mungkin ia melihat contoh-contoh negara yang menjadi makmur berkat ketiadaan perbedaan pandangan di masyarakat, seperti Singapura, Korea Selatan, dan China yang belakangan ini dilirik banyak pemimpin Dunia Selatan (Global South) yang repot berurusan dengan demokrasi.
Tapi yang dicapai tiga negara itu secara saintifik belum dapat dijadikan pegangan. Rezim Mulyono yang lebih terpusat dengan membungkam oposisi justru hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,1 persen selama 10 tahun.
Pemerintahan SBY yang lebih demokratis justru mampu memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Memang negara yang inklusif secara kelembagaan dan demokratis secara politik justru menghadirkan contoh keberhasilan pembangunan yang dapat dibuktikan secara saintifik. Kemajuan Singapura dan China lebih mencerminkan fenomena meritokrasi yang keberlanjutannya masih tanda tanya.
Awalnya, Prabowo menjanjikan akan membentuk zaken kabinet. Kenyataannya, para menteri, pejabat setingkat menteri, kepala-kepala lembaga, dan utusan-utusan khusus yang direkrut tidak dikenal sebagai orang-orang berkompeten dan berintregritas.
Dan, kendati Bank Dunia memprediksi rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024-2029 hanya sekitar 5,1 persen – itu pun kalau tidak ada gejolak eksternal yang mengganggu perdagangan dunia – Prabowo menjanjikan pertumbuhan 8 persen. Kita tidak tahu bagaimana ia menghitungnya, tapi sebaiknya kita tak lekas percaya.
Toh, Mulyono dulu, yang menjanjikan pertumbuhan yang lebih rendah (7 persen), ternyata hanya omong kosong. Yang lebih masuk akal, bisa jadi pemerintahan Prabowo lebih buruk dari pemerintahan Mulyono. Lebih buruk dari semua sisi, yang tanda-tandanya mulai diperlihatkan Prabowo dan para pembantunya. Wallahu’alam bishawab.[]
Tangsel, 31 Oktober 2024
Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)