Preshold 0% yang Dilupakan
Tuntutan-tuntutan yang disuarakan di tengah-tengah maraknya demo mahasiswa memang sudah mengeksplorasi kepentingan hal-hal yang substantif. Tetapi, sesungguhnya dari sekian tuntutan itu masih ada yang tertinggal dan terlupakan: kepentingan satu hal yang secara kualitatif dalam ranah political equality untuk rakyat, bangsa dan negara itu maha penting ke depan — lebih dari hal substantif, bahkan hal tersebut sangat mendasar.
Sangat mendasar dikarenakan menyentuh tataran dan tatanan hidup matinya demokrasi yang secara seutuhnya kondisinya saat ini sesungguhnya sama halnya dengan ada upaya sebagian kelompok yang mau menunda Pemilu 2024 dan atau memperpanjang jabatan Presiden tiga periode yang sudah jelas-jelas melanggar dan mengangkangi UUD 1945.
Kepentingan maha mendasar itu, adalah masih adanya perihal Presidential Treshold (Preshold) 20% menjadi “virus demokrasi” yang secara kuantitatif pun memang sebenarnya tidak tertera dalam pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri. Apalagi, dalam praktik kualitatif kenegaraan telah mengakibatkan hegemoni bagi terjadinya kelumpuhan demokrasi. Indikasi nyata adanya oligarki partai itu sudah melumpuhkan demokrasi dengan mengkatup suara aspirasi rakyat di lembaga legislasi DPR dan MPR, praktiknya berkonspirasi dengan pihak Pemerintah yang menjadikannya semakin otoritarinisme: tampak nyata implementasinya di keempat UU KPK, Omnibuslaw, BRIN dan IKN, selayaknyalah itu juga disebut sebagai ada upaya pelanggaran dan atau pembangkangan terhadap konstitusi, UUD 1945.
Lembaga-lembaga etikal penjaga dan pelindung demokrasi, bahkan di Amerika Serikat sebagai negara pendiri murni demokrasi, seperti dikutip dari buku “How Democracies Die” Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjadikan badan-badan intelejen sekalipun menjalankan fungsi etikalnya sebagai lembaga pelindung dan penjaga demokrasi itu, di samping di sini seperti lembaga media massa, lembaga swadaya masyarakat sipil (NGO) atau boleh turut serta kembaga-lembaga sipil Pemerintah yang seharusnya independen, seperti : lembaga Komisi Yudisial, Ombudsman, Makhamah Agung, bahkan Makhamah Konstitusi, seharusnya menjadi garda terdepan.
Tapi faktanya di sini MK yang banyak mendapatkan pengajuan aspirasi rakyat berupa permintaan uji materi terhadap Preshold dari 20% ke 0% dalam kerangka pemulihan demokrasi, terlebih menjelang Pemilu 2024 yang ditandai pemilihan Presiden baru, susahnya setengah mati. Banyak hal argumentasi ilmiah dan fakta thema diskursus dan kejadian untuk menghidupkan kembali demokrasi di negara kita yang tengah mati suri yang didasari alasan rasional, faktual dan kontekstual terhadap uji materi itu, hingga kini tetap saja ditolak.
Ini sudah pasti mengundang kecurigaan dan tendensi sangat buruk, ada apa sebenarnya dengan Mahkamah Konstitusi. Terlebih, riwayat MK yang pernah mencederai demokrasi saat tersingkirkannya Prabowo-Sandi di Pilpres 2019-2024 yang banyak disebut dan disinyalir sebagai “The Elections Of Fraud”, adalah memang jadi me-“legacy” citra buruk MK. Dan itu dilanjutkan dengan betapa MK kemudian dengan begitu mudahnya seperti “tanpa” uji materi meloloskan keempat yang boleh dikatakan sebagai “RUU Sungsang”, RUU KPK, Omnibuslaw, BRIN dan IKN tersebut. Terlebih, ketika kemudian hubungan tradisi kekeluargaan —seringkali tak menafikan bakal banyak mempengaruhi kinerja lembaga MK kelak. Yang kita tahu Ketua MK sebentar lagi menjadi adik ipar Jokowi.
Terlepas, dari Jokowi memang tak akan lagi menjabat lagi Presiden, faktanya dengan masih adanya Preshold 20% itu, adalah jalan mudah untuk melanjutkan ibarat “kedinastian” Jokowi itu menurunkan trah dan tirani kekuasaannya itu kepada pengganti penerusnya nanti yang sudah pasti, adalah kelompok kroni-kroni konspiratif yang tak lain dan gak bukan, adalah tetap itu-itu saja di seputaran “old beother political” anggota -anggota dari kepartaian oligarki itu.
Sementara, upaya pemulihan demokrasi dengan menciptakan peluang bagi alternatif calon pemimpin-pemimpin potensial baru yang selaras dan memiliki misi dan visi kenegarawanan baru pun jadi nyaris terhambat dan tertutup dikarenakan adanya permainan dari kredo “legacy” dinasti lama yang jejaknya masih akan dikuasai dominasinya oleh partai-partai lama keanggotaan oligarki itu.
Jadi, di tengah hiruk pikuk dan riuh rendahnya demo mahasiswa —semoga saja akan berkepanjangan hingga jelang 2024 nanti jangan dilupakan sasaran utamanya mengubah Preshold 20% menjadi 0%. Bahkan, sungguh sangat diperlukan dan tampaknya harus menjadi perhatian mahasiswa dan publik sekarang, MK kini harus dijadikan tempat ajang pusat sasaran baru para pendemo itu selain gedung Istana Negara dan DPR.
Bahkan, nanti demo mahasiswa ke MK harus didukung oleh publik yang lebih dan sangat luas utamanya para pegiat dan pecinta anti korupsi yang masih sangat kecewa dengan UU KPK; para pekerja profesi dan buruh yang masih tengah berjuang mereview uji materi UU Omnibuslaw; para ahli profesi akademisi terkait riset dan teknologi yang masih terluka dengan adanya UU BRIN; serta masyarakat luas di Kalimantan Timur, lembaga adat, dan para petani dengan implementasi UU IKN yang sesungguhnya masih “acak aduk” khususnya terkait keagrariaannya; serta juga dari partai-partai baru yang sudah teratifikasi sebagai calon peserta pemilu yang kadernya tersebar di seluruh Indonesia.
Dari keenam unsur pendemo tersebut di atas bila perlu kemudian ditopang dengan dukungan puluhan ribu profesi advokat di pelbagai bidang keahlian kemudian melakukan advokasi dan menyatakan “Mosi Tidak Percaya” kepada MK, bila perubahan Preshold 20% ke 0% itu tidak diloloskan. Bagaimana?
Wallahu’alam Bishawab
Dairy Sudarman, adalah jurnalis senior, pemerhati politik dan kebangsaan.