Presiden, Raja Maha Diraja?
Sekalipun ini menjadi pertanyaan serasa orang awam yang nyeleneh, sekaligus menyasar mem-bully atau bahkan mem-distinguish bahwa seorang Presiden di NKRI itu bisa saja menjadi Raja Maha Diraja? Jawabnya: Yes!
Pertanyaan itu muncul —dari pemikiran politik seorang jurnalis yang selalu menggugah diskursus— dikarenakan selama satu dekade ini faktualisasinya dirasakan ketika rezim Jokowi berkuasa sungguh sangat superior. Alias, sangat digdaya dominasi kekuasaannya.
Padahal, Jokowi itu terlahir hanya sebagai seseorang yang menjadi bagian dari civil society.
Justru, dalam praktis pragmatisme politik berkuasa ternyata lebih otoritarian-otoriter dari umumnya military comunity.
Yang sudah terbiasa dengan sistem dan mekanisme kendali kerja berdasarkan garis komando ketimbang garis koordinasi.
Meskipun menurut konstitusi UUD 1945 seorang Presiden berkedudukan sama —sebagai salah satu lembaga tinggi negara— berkesejajaran dengan DPR dan MA.
Yang dalam demokrasi Trias Politica dibagi menjadi tiga bagian kekuasaan: antara fungsi dan peran eksekutif, legislatif dan yudikatif itu.
Tetapi, sekarang ke penandaan jika adanya alat ukur timbangan ekuilibrium Trias Politika yang seringkali dijadikan parameter dari suatu paradigma demokrasi yang sehat dan rasional, serasa semakin timpang. Tingkat disparitasnya condong nyaris lebih berat sebelah timbangannya ke lembaga Presiden.
Bukan lagi ada kesan, tetapi sebagai fakta faktual adanya sentralisasi perintah dari komando Istana —alias lembaga kepresidenan itu—memang sangat menonjol dan dominan.
Bahkan, ada kecenderungan mengkooptasi lembaga tinggi negara lain itu untuk mengikuti kemauan dan kepentingan lembaga eksekutif Presiden itu.
Itu terbuktikan tampak nyata dari produk konstitusi perundang-undangannya ketika UU Omnibuslaw, UU KPK, UU IKN, UU BRIN, UU Kesehatan, termasuk UU KUHP mengelaborasi sinyal pertanda perintah komando Istana itu semakin jelas.
Bahkan, saking santernya perintah komando Istana itu, mampu pula mengambrukkan fungsi lembaga-lembaga komisi tinggi negara sebagai pelapis pengawasan. Seperti: KPK melapisi BPK, Komisi Yudisial melapisi lembaga-lembaga peradilan dan kehakiman di MA, Komjak melapisi Kejaksaan Tinggi, Kompolnas melapisi Kepolisian, MK melapisi DPR, dsb. Nyaris hilang semua fungsi independensinya.