RESONANSI

Presiden, Raja Maha Diraja?

Yang hingga kini produk dan kinerjanya dari semua lembaga itu terus-menerus tak pernah berhenti diprotes dan didemo oleh publik, kelompok dan komunitas LSM, serta partai oposisional, mahasiswa dan kaum buruh.

Dan diafragma betapa dominasi kekuasaan Jokowi itu sangat besar pengaruhnya, tersketsa dan tergambar semakin nyata dan kentara di event penyelenggaraan Pilpres 2024 yang baru lalu.

Saat mana Jokowi hijrah ke KIM dengan meninggalkan PDIP sebagai partai yang membesarkannya malah dijatuhkan tersungkur olehnya nyaris babak belur.

Sekaligus, memenangkan Pilpres 2024 secara signifikan –diwarnai preseden dan insiden banyak kecurangan dan keculasan TSM yang dilakukan oleh Jokowi itu.

Plus mengerek Prabowo ke kursi Presiden ketika Gibran dipasangkan melalui mekanisme curang dan licik melalui nepotisme yang kelihatan sengaja di-setting di MK.

Hingga, Gibran bisa dicalonkan Wapres padahal masih belum cukup umur. Sekaligus, momentum ini menandai pula telah lahir dinasti kekaisaran dan atau kerajaan politik dinasti Jokowi.

Tak nyana kemudian menimbulkan gelombang lautan kritik dari pers maupun di media sosial. Salah satu yang menjadi garda terdepan, adalah majalah Tempo yang merilis julukan Gibran, sebagai “Anak Haram Konstitusi”.

Atau diluncurkan doku fragmentasi film “The Dirty Vote” yang diprakarsai tiga pendekar guru besar hukum tata negara: Ferry Amsari, Bivitri dan Zainal Arifin Mukhtar, adalah bukti memverifikasi dan menotifikasi bahwa di segala lini kecurangan TSM di Pilpres 2024 itu memang ada.

Pun kemunculan komunitas amicus curiae, komunitas sahabat pengadilan yang dipelopori 303 para maha guru besar nyaris di 247 perguruan tinggi bermaksud menggugah MK memberi putusan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya di persidangan pengadilan sengketa Pilpres itu. Tak membuat para hakim MK itu luruh hati nuraninya.

Tetapi, bagaimana pun Jokowi yang mengarsiteki kemenangan Prabowo-Gibran tetap merasa tak bersalah, tak bergeming dengan tanpa menampakkan ketokohnegarawanannya, kecuali satu harus lolos menuai ambiusismenya.

Ini harus patut dikhawatirkan, dicurigai dan diwaspadai bahwa keniscayaan kemenangannya itu semakin melengkapi keparipurnaan menuju NKRI yang akan semakin otoritarian—yang menurut teori Ziballt and Levitsky dalam literasi How Democracies Die —-dikarenakan Prabowo Subianto adalah seorang murni militeristik. Ditambah Gibran, adalah anak kandung dari mantan Presiden otoritarian civiliant..

Maka, indikasi bahwa Presiden di NKRI itu bakal bisa menjadi Raja Maha Diraja itu suatu yang semakin takkan terpungkiri dan tak terelakkan.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button