NASIONAL

Prihatin Tingginya Angka Perceraian, HNW Dukung RUU Ketahanan Keluarga Diundangkan

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR yang juga Anggota DPR RI Komisi VIII yang salah satunya mengurusi bidang keagamaan Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung sikap Menteri Agama Nasaruddin Umar yang mengusulkan revisi terhadap UU Perkawinan dan atau menghadirkan undang-undang baru tentang ketahanan keluarga sebagai respons terhadap masih terus meningginya angka perceraian di Indonesia yang dinilai telah mencemaskan dan berdampak pada struktur sosial serta stabilitas ekonomi keluarga.

“Usulan ini patut diapresiasi, dan saya yang diamanahkan berada di Komisi VIII DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Agama, menyambut baik keprihatinan dan usulan tersebut. Apalagi bila solusinya lebih mendasar dengan lahirnya kembali RUU Ketahanan Keluarga sebagaimana diwacanakan oleh Menag Prof Nasaruddin Umar,” ujar Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (24/4/2025).

HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa gagasan tersebut sejatinya menguatkan gagasan yang sudah ada sebelumnya. Karena RUU Ketahanan Keluarga itu sudah berulang kali diusulkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR RI pada dua periode pemerintahan sebelumnya.

“Namun, sayangnya, ketika itu gagasan tersebut tidak mendapat dukungan positif dari pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR. Bila sekarang Menteri Agama (Pemerintah) malah mengusulkan, tentu menjadi momentum yang tepat untuk menghadirkan solusi mendasar mengatasi masalah tidak harmonisnya keluarga yang berujung pada tingginya angka perceraian dengan dampak ikutannya yang meluas,” jelasnya.

Lebih lanjut, HNW mengungkapkan bahwa Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang selama dua periode terakhir sudah berusaha memperjuangkan RUU ini. Bahkan, pada periode lalu, dua anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, mendapat dukungan dari anggota dari Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra dan Fraksi PAN, telah secara resmi mengusulkan dan mempersiapkan RUU ini, tentu akan kembali bersemangat untuk mengajukan atau mendukung RUU Ketahanan yang kali ini bisa saja inisiatifnya dari Pemerintah (Kemenag).

Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini mengatakan bahwa mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa sumber, angka perceraian di Indonesia memang cukup tinggi dalam beberapa tahun belakangan ini. Yakni, 408.347 kasus pada 2024, 463.654 kasus pada 2023, 516.344 kasus pada 2022, dan 447.743 kasus pada 2021. Faktor penyebabnya juga berbagai macam, dari masalah ekonomi dan salah satu pasangan berzina, hingga yang paling dominan adalah pertengkaran terus menerus.

“Urgensi untuk menjawab persoalan keluarga yang ada di masyarakat (termasuk tingginya angka perceraian) sudah sangat terlihat, dan bahan-bahan untuk memulai RUU Ketahanan Keluarga itu juga sudah tersedia. Saat ini, tinggal bagaimana ‘political will’ Pemerintah, atau DPR, atau inisiatif bersama Pemerintah dan DPR untuk bersama sama mengusulkan dan memperjuangkan disahkannya RUU Ketahanan Keluarga ini,” ujarnya.

Sebagai informasi, sebelumnya, Menag Nasaruddin Umar memang telah menyampaikan kekhawatirannya terhadap angka perceraian yang tinggi. Ia mengusulkan agar ada Bab khusus di dalam UU Perkawinan yang mengatur pelestarian perkawinan atau bila perlu dibuatkan UU khusus mengenai Ketahanan Keluarga.

HNW mengaku lebih setuju dengan usulan menghadirkan RUU Ketahanan Keluarga sebagaimana diusulkan oleh Menag, dibandingkan dengan hanya merevisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menambahkan Bab baru yaitu Bab Pelestarian Keluarga di UU Perkawinan itu. Sekalipun diakui bahwa penambahan satu bab dalam UU Perkawinan bisa jadi lebih cepat bisa diputuskan menjadi rujukan hukum mengatasi masalah perceraian dan masalah keluarga lainnya, tetapi HNW mengingatkan hendaknya dipastikan bahwa usulan merevisi UU Perkawinan, jangan menjadi seperti membuka ‘Kotak Pandora’, karena ada potensi penumpang gelap yang ingin mengacaukan rezim perkawinan di Indonesia yang berdasarkan agama, dengan berupaya menghadirkan perkawinan beda agama yang sudah ditolak oleh MK, atau bahkan tuntutan legalitas perkawinan sesama jenis yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan dan Pancasila.

HNW mengatakan itu semua tentu sudah menjadi perhatian Menag dalam mengusulkan revisi UU Perkawinan. Memang UU Perkawinan pernah direvisi secara terbatas terkait usia perkawinan pada 2019 atas amanat putusan MK. Namun, kita bisa lihat ada beberapa suara belakangan ini yang mencoba menghadirkan perkawinan tanpa landasan agama, perkawinan beda agama, atau yang lebih parah lagi, perkawinan sesama jenis. “Jangan sampai mereka hadir sebagai ‘penumpang gelap’ dalam revisi UU Perkawinan,” jelasnya.

“Karena itu bukan menyelesaikan masalah malah bisa menimbulkan masalah baru yang makin bisa menjadi potensi besar terjadinya perceraian ketika pernikahan tidak dibasiskan kepada ajaran Agama, hal yang tentu saja bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Perkawinan yang ada dan juga bertentangan dengan sistem sosial yang diterima masyarakat Indonesia umumnya,” pungkasnya.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button