Problem Guru di Era 4.0
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Itulah gelar mulia yang diberikan kepada guru di negeri ini. Guru adalah sosok berjasa yang memiliki tugas sebagai pendidik dan pengajar untuk kita. Guru juga bisa dikatakan sebagai orang tua kedua, karena gurulah yang juga ikut berperan penting dalam mendidik selain orang tua di rumah tentunya.
Di era Revolusi Industri 4.0 guru juga sebagai penggerak perubahan. Begitulah selayaknya harapan itu disematkan pada guru. Sebab gurulah ujung tombak dalam mencetak generasi pengisi peradaban masa depan bangsa bahkan dunia.
Banyak hal yang harus diubah dalam dunia pendidikan bangsa ini. Sebab berbagai potret kelam, semakin berhamburan di usia 74 tahun hari guru nasional. Amoral pelajar yang menjalar, minimnya kesejahteraan guru honorer, bahkan banyaknya sekolah-sekolah yang jauh dari kata layak dari segi fasilitas. Semua ini adalah hal yang membutuhkan perubahan. Akankah mungkin dibebankan hanya pada pundak guru?
Perubahan yang diharapkan mampu digerakkan oleh guru tentu saja yang berkaitan dengan output generasi bangsa. Yakni bagaimana para guru mampu mengendalikan revolusi industri 4.0 ini sebagai alat untuk tercetaknya generasi yang unggul. Sehingga para guru harus uptodate, baik dalam hal sarana maupun prasarana. Seluruhnya mengacu pada era masa kini, era revolusi industri 4.0. Namun sayang, dampaknya revolusi industri 4.0 yang marak digaungkan justru malah banyak menelan korban. Pembelajaran berbasis daring, justru seringkali membuat para guru kualahan untuk mengontrol jangkauan selancar para siswa.
Belum lagi para siswa yang terpapar video porno, bisa dibilang sudah tidak terhitung jumlahnya. Kehamilan yang tidak diinginkan, perilaku premanisme antar pelajar bahkan kepada guru, semua ini terjadi mayoritas karena pengaruh kebebasan sosial media yang sulit dibendung. Dilema inilah kata yang pantas untuk menggambarkan kondisi pendidikan saat ini.
Tidak hanya dari sisi revolusi kenakalan remaja yang kian ngeri dan harus dihadapi oleh para guru. Melainkan juga upah mayoritas guru yang tidak mensejahterakan,
Misalnya, Sejumlah guru honorer di Kota Medan masih belum mendapatkan upahnya yang telah tertunggak lebih dari tiga bulan, bahkan ada yang mencapai empat hingga lima bulan. Hal itu terjadi di beberapa sekolah di Kota Medan, khususnya untuk tingkat SD dan SMP.
Alasan tertunggaknya karena belum turunnya Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Sampai sekarang masih banyak teman-teman kami yang belum mendapatkan honornya hingga empat bahkan lima bulan.
Alasannya cukup banyak, yang paling sering digunakan itu ya Dana BOS yang belum cair,” ujar Ketua Forum Honorer Indonesia (FHI) Kota Medan, Fahrul Lubis, Selasa (5/11).
Fahrul mengakui, memang para guru honorer tidak menerima upahnya per satu bulan sekali, akan tetapi upah itu dibayar dalam kurun waktu tiga bulan sekali. “Kami memang gajiannya tiga bulan sekali, bukan sebulan sekali. Tapi inikan sudah ada yang tertunggak sampai empat bahkan lima bulan. Ini yang cukup kita sesali, padahal gaji kami itu tidak besar hanya sekitar Rp400 ribu per bulannya. Gaji segitu pun masih juga terlambat untuk menerimanya,” ujarnya.
Kalau begini, jadilah para guru yang hanya mengajar seadanya. Sebab banyak administrasi yang menanti untuk diselesaikan. Ada pula yang harus berbagi pikiran, tenaga dan waktu pada usaha sampingan. Agar kebutuhan hidup tetap tertunaikan.
Padahal, idealnya seorang guru tidak hanya sekedar mengajar, kan? Ada proses pendidikan yang harusnya juga ia lakukan. Namun sayang, proses mendidik itu kini jauh dari angan. Terpinggirkan, sebab keadaan yang memang tidak memungkinkan. Jika demikian, lantas bagaimana mungkin dapat terwujud perubahan?
Dalam Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia di sisi Allah SWT. Karena guru adalah sosok yang dikarunia ilmu oleh Allah SWT yang dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Selain itu guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga guru mendidik muridnya agar cerdas secara spritual yakni memiliki kepribdadian Islam.
Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam sistem Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).
Sungguh luar biasa, dalam naungan Islam para guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik muridnya tanpa harus dipusingkan lagi untuk membagi waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan. Tidak hanya itu, negara dalam naungah Islam juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru menjalankan tugas mulianya.
Sehingga selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana dalam meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas.
Maka sangat disayangkan, jika kita masih berharap kesejahteraan guru pada sistem saat ini, sudah pasti kekecewaan yang kita didapatkan, Karena hanya sistem Islamlah kesejahteraan dan kemuliaan guru dapat kita dirasakan serta akan mampu membawa perubahan menuju peradaban yang gemilang, agung dan mulia.
Putri Irfani S, S.Pd
Muslimah Dakwah Community