Qatar dan Arab Saudi Terlibat Pertempuran di Dunia Maya
Doha (SI Online) — Selama setahun terakhir, konflik antara Qatar dan negara-negara tetangganya—termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab—berlangsung dengan melibatkan sistem persenjataan baru, yakni bot, berita palsu, dan peretasan.
Dilansir BBC (3/6) disebutkan, sebuah artikel berita muncul di laman resmi kantor berita Qatar (QNA). Artikel tertanggal 24 Mei 2017 itu menyebutkan emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, menyampaikan pidato mengejutkan.
Kutipan Al-Thani kemudian muncul di akun-akun media sosial QNA serta teks berjalan (running text) pada bagian bawah sejumlah video yang diunggah ke saluran kantor berita tersebut di Youtube.
Dalam kutipan tersebut, sang emir memuji kelompok Hamas, Hezbollah, dan Ikhwanul Muslimin. Dan mungkin yang paling kontroversial, sanjungan terhadap Iran—rival Arab Saudi.
Namun, artikel dan kutipan itu mendadak hilang dari laman QNA. Kementerian Luar Negeri Qatar juga merilis pernyataan berisi bantahan bahwa sang emir pernah mengucapkan hal tersebut. Pun tiada rekaman video yang menampilkannya menuturkan perkataan itu.
Qatar kemudian mengklaim bahwa QNA telah diretas dan peretasan itu sengaja dirancang agar QNA menyebarkan berita palsu mengenai sang emir dan kebijakan luar negerinya.
Pihak Qatar tak ragu menuding Uni Emirat Arab sebagai biang keladi—sebuah tuduhan yang belakangan juga disuarakan oleh laporan Washington Post yang mengutip sumber-sumber intelijen AS. UEA membantah tuduhan tersebut.
Bagaimanapun, lepas dari dugaan bahwa UEA adalah pelaku peretasan, kutipan pernyataan Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani terlanjur menyebar ke seluruh dunia. Hanya dalam beberapa menit, jaringan televisi milik Saudi dan UEA—Al Arabiya dan Sky News Arabia—memberitakan kutipan sang sheikh.
Kedua jaringan media itu menuduh Qatar mendanai kelompok-kelompok ekstremis dan membuat kawasan Timur Tengah tidak stabil.
Tak lama berselang setelah kedua jaringan media tersebut memberitakan kutipan Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, berita lain muncul.
Kali ini, targetnya adalah UEA. Akun surat elektronik milik Youssef al-Otaiba, selaku duta besar UEA untuk AS, diretas dan isi surat-suratnya diperlihatkan ke media. Hal ini membuat kehidupan pribadi Al-Otaiba terungkap dan menjadi pembahasan media internasional.
Awal konflik
Konflik bermula ketika Arab Saudi, UEA, Bahrain, Mesir dan sekutu-sekutunya memutus hubungan dengan Qatar pada 5 Juni 2017. Negara-negara itu mengusir warga negara Qatar, membekukan hubungan diplomatik, menutup satu-satunya perbatasan darat Qatar, menutup ruang angkasa mereka, dan menghentikan relasi dagang.
‘Kuartet anti-teror’ pimpinan putra mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, lalu merilis 13 tuntutan yang harus dipenuhi Qatar dalam 10 hari. Tuntutan itu, antara lain penutupan stasiun televisi Al Jazeera dan penghentian kerja sama dengan Iran.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang baru melawat Arab Saudi, menyambut aksi terhadap Qatar dalam serangkaian cuitan keesokan harinya. Menurutnya, aksi Arab Saudi dan kawan-kawan merupakan bukti bahwa kebijakan anti-terornya berjalan.
Pandangan Trump menambah panas perang propaganda yang sudah berlangsung di Twitter. Media sosial itu dibanjiri tanda pagar dukungan maupun kecaman terhadap Qatar.
Perang Bot (Akun Palsu)
Di pihak Qatar, tanda pagar “Tamim sang Pemenang” dan “Qatar tak Sendiri” muncul di laman Twitter, agaknya menunjukkan sikap para pengguna media sosial di kawasan Teluk.
Sementara itu, pihak Saudi dan UEA menuduh Sheikh Tamim merupakan “Khadafi dari Teluk”—sebuah rujukan terhadap mantan pemimpin Libia, Moamar Khadafi.
Akan tetapi, investigasi BBC Arabic mengungkap bahwa sebagian besar cuitan yang menggunakan tagar ini dipopulerkan oleh akun-akun palsu alias “bot”. Bot adalah akun yang dijalankan secara otomatis untuk meningkatkan popularitas unggahan-unggahan media sosial untuk memanipulasi opini publik.
Ben Nimmo, seorang peneliti dari the Atlantic Council, menekuni beberapa tagar yang tren dalam konflik tersebut dan menemukan sumber popularitasnya. Dia mendeteksi penggunaan bot-bot Twitter melalui beragam cara, seperti lonjakan popularitas sebuah tagar secara tiba-tiba yang mengindikasikan unggahan otomatis.
“Pada tagar # Tamim_sang_Pemenang, unggahan ini dirilis akun @sabaqksa dengan 201 cuitan ulang hanya dalam tempo beberapa detik. Itu bukan pola perilaku yang normal,” kata Nimmo.
Akun @sabaqksa kemudian dibekukan oleh Twitter dan BBC Arabic tidak dapat menghubungi pemiliknya untuk dimintai komentar. Lonjakan penggunaan tagar ini juga datang dari 100 akun yang mengunggahnya sebanyak 1.410 kali dalam periode lima jam.
Nimmo mengatakan “tidak mungkin” akun-akun yang dijalankan manusia akan mengunggah sesering itu. Ketika sejumlah akun bot bekerja sama seperti ini, hal tersebut dinamakan bot net.
Di sisi lain, Nimmo menemukan bot dari pihak anti-Qatar. Cuitannya berisi unggahan tidak sopan, seperi emir Qatar yang digambarkan sebagai anjing menggonggong dan sosok yang bermata jereng.
Sebagian besar bot anti-Qatar tampak berupaya mendorong cuitan yang awalnya dirilis sebuah akun, yaitu @saudq1978. Akun itu milik Saud al-Qahtani, anggota keluarga kerajaan Saudi yang terpandang sekaligus penasihat Pengeran Mohammed bin Salman. Dengan lebih dari sejuta pengikut, kehadirannya di Twitter dapat dirasakan.
Lima cuitan teratas yang menampilkan tagar “Khadafi dari Teluk” berasal dari akun ini, yang jika ditotal dengan cuitan ulang telah menyalurkan 66% dari keberadaan tagar itu di Twitter.
Akun itu menuding Qatar membunuh orang-orang dalam perang sipil Libia dan menuduh Qatar mendanai terorisme serta ekstremisme. BBC Arabic berulang kali mencoba menghubungi Saud al-Qahtani, namun tanpa hasil.
Berita bohong di mana-mana
Sementara itu, “boikot” atau “blokade” terhadap Qatar tampaknya tidak bakal selesai dalam waktu dekat, walau AS baru-baru ini berupaya menengahi.
Tagar mengenai konflik antara Qatar dan negara-negara Arab lainnya masih tren dan perang peretasan amat mungkin berlanjut tahun depan. Jaringan media kedua pihak juga masih saling tuding.
Selain itu, ada dua gambaran yang berupaya ditampilkan media dari masing-masing kubu. Al Arabiya, yang dimiliki sejumlah figur penting Saudi, menampilkan tayangan supermarket dengan rak-rak kosong.
Akan tetapi, laporan Al Jazeera, yang didanai pemerintah Qatar, cenderung menunjukkan khalayak umum beraktivitas secara normal. “In bukan hanya pertempuran politik tapi juga pertempuran media. Kami memiliki masalah besar di dunia Arab, seperti halnya di dunia Barat. Berita bohong ada di mana-mana,” kata Dina Matar, dosen senior mata kuliah media Arab dan komunikasi politik di SOAS, Universitas London.
“Politisi dan pemimpin Arab sangat sadar bahwa media penting dan media adalah senjata penting. Itu adalah senjata propaganda, senjata untuk kepentingan publik dan privat,” sambungnya.
Baru-baru ini sebuah tagar berbunyi #Peringatan_Berita_Palsu_Tengah_Malam menjadi tren di Qatar. Tagar itu menandai satu tahun dugaan peretasan kantor berita Qatar. Selang 12 bulan setelah insiden itu terjadi, tanda-tanda bahwa ketegangan telah reda antara Qatar dan Arab Saudi masih nihil.
Sumber : bbc