Rabiul Awal, Bulan Penuh Cahaya Kelahiran Nabi Muhammad Saw

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, ada satu peristiwa yang melampaui batas ruang dan waktu kelahiran Nabi Muhammad ﷺ pada bulan Rabiul Awal. Umat Islam meyakini, hadirnya beliau bukan sekadar kelahiran seorang manusia, melainkan lahirnya cahaya penuntun bagi seluruh alam semesta. Al-Qur’an menyebut Rasulullah sebagai rahmatan lil alamin rahmat bagi sekalian alam (QS. Al-Anbiya: 107).
Sejarawan mencatat, dunia Arab kala itu tenggelam dalam kegelapan jahiliyah perbudakan merajalela, perempuan dianggap hina, pertumpahan darah menjadi kebanggaan, dan penyembahan berhala menenggelamkan nilai tauhid. Dalam kegelapan itulah, pada malam 12 Rabiul Awal, lahir seorang bayi yang kelak mengguncang sejarah dan mengubah arah peradaban manusia.
Ibn Ishaq meriwayatkan, pada malam kelahiran Nabi ﷺ, istana Kisra di Persia berguncang, empat belas balkonnya runtuh, dan api yang telah disembah beratus tahun padam. Alam seolah memberi tanda bahwa era baru telah dimulai. Di rumah sederhana Bani Hasyim, Aminah binti Wahab menimang buah hatinya, seorang bayi yatim yang kelak menjadi penutup para nabi.
Betapa indah gambaran kelahiran itu malaikat bersujud menyambutnya, para jin berlarian karena takut kehilangan pengaruh, dan langit dipenuhi cahaya yang menerangi hingga ke negeri Syam. Bukan sekadar kelahiran biologis, tetapi kelahiran cahaya ilahi yang membelah tirai kegelapan.
Rabiul Awal tidak hanya sekadar bulan ketiga dalam kalender hijriah. Ia adalah momentum spiritual untuk mengingat kembali bahwa Islam hadir bukan dengan pedang, melainkan dengan akhlak yang mulia. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Artinya, merayakan Rabiul Awal bukan sebatas seremonial, melainkan refleksi, apakah akhlak kita sudah mencerminkan akhlak Rasulullah ﷺ? Apakah cinta kita kepada beliau hanya di lisan, atau juga tercermin dalam perilaku sehari-hari?
Dikisahkan suatu hari, seorang sahabat bernama Tsauban sangat mencintai Rasulullah ﷺ. Ia menangis karena khawatir di akhirat kelak tidak bisa lagi melihat Nabi, sebab kedudukan beliau begitu tinggi. Rasulullah ﷺ lalu menenangkan Tsauban dengan firman Allah: “Barang siapa menaati Allah dan Rasul, maka mereka akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69)
Betapa indah janji Allah ini. Cinta kepada Rasulullah ﷺ bukan cinta kosong. Ia cinta yang menjanjikan kebersamaan dengan beliau di surga. Saat membaca kisah ini, hati siapa yang tidak bergetar? Bagaimana mungkin kita tidak rindu pada sosok yang rela lapar demi umatnya, yang sujud dengan linangan air mata memohonkan ampun bagi kita?
Rabiul Awal harus menjadi cermin: generasi hari ini hidup di tengah banjir teknologi, distraksi dunia maya, dan krisis moral. Kita membutuhkan teladan Rasulullah ﷺ sebagai kompas kehidupan. Beliau mengajarkan kesederhanaan di tengah hedonisme, kasih sayang di tengah individualisme, dan keberanian di tengah kemunafikan.
Mencintai Nabi berarti meneladani akhlaknya, jujur dalam bisnis, adil dalam kepemimpinan, lembut dalam keluarga, dan sabar dalam dakwah. Inilah faedah terbesar dari memperingati kelahiran beliau, bukan sekadar mengenang, melainkan menghidupkan kembali nilai yang beliau bawa.
Ketika kita menyebut nama beliau, hati ini seolah dipenuhi rindu yang menyesakkan dada. Betapa kita ingin sekali bertemu dengannya, menatap wajahnya yang mulia, mendengar suaranya yang lembut. Namun, Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Beruntunglah orang-orang yang melihatku dan beriman kepadaku. Dan lebih beruntung lagi orang-orang yang beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku.” (HR. Ahmad)
Kita termasuk golongan kedua. Betapa besar kasih sayang beliau, hingga air matanya menetes hanya karena merindukan kita umat yang belum pernah beliau lihat.
Maka, jika hati kita bergetar, air mata menetes saat mengingat beliau di bulan Rabiul Awal ini, itu tandanya cinta kita hidup. Semoga rindu itu mengantarkan kita kelak pada perjumpaan abadi di telaga Kautsar.[]
Fakhurrazi Al Kadrie, S.H.I., M.Pd., Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.