Rahasia Rabiulawal: Syukur atas Kelahiran, Bukan Ratapan Wafatnya Rasulullah Saw

Rabiulawal merupakan salah satu bulan yang mulia dan agung dalam sejarah Islam. Pada bulan inilah Nabi Muhammad Saw dilahirkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati kelahiran beliau dengan beragam kegiatan, seperti membaca sirah nabawiah, bersedekah, mengadakan pengajian, serta berbagai amal kebajikan lainnya yang mencerminkan rasa syukur dan kebahagiaan atas kelahiran Rasulullah Saw.
Namun demikian, dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas persoalan hukum peringatan kelahiran Nabi Saw yang populer disebut Maulid Nabi Muhammad Saw. Hal ini disebabkan, pertama, karena masalah tersebut merupakan bagian dari persoalan khilafiah yang telah banyak dibicarakan dalam berbagai forum keilmuan. Kedua, terdapat persoalan yang jauh lebih besar dan mendesak yang tengah dihadapi umat Islam pada masa kini.
Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila energi umat terus-menerus tersita dalam perdebatan yang bersifat musiman, yakni perdebatan yang muncul setiap kali memasuki bulan Rabiulawal, sementara tantangan utama umat justru menuntut perhatian yang lebih serius dan berkelanjutan.
Penulis berpendapat bahwa siapa pun yang menganggap peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw sebagai bidah sehingga terlarang untuk dilaksanakan, memiliki landasan argumentasi (dalil) yang ia yakini.
Demikian pula, siapa pun yang memandangnya sebagai bidah hasanah—yang boleh bahkan baik untuk dilaksanakan—juga memiliki argumentasi (dalil) yang mendukung pendapatnya.
Dengan demikian, persoalan ini sesungguhnya berada dalam ranah ijtihādiyyah, yang masing-masing pendapat memiliki sisi kebenaran sekaligus kemungkinan salah.
Hemat penulis, sikap yang paling bijak adalah mengambil jalan tengah: bagi yang ingin memperingati Maulid Nabi Saw, dipersilakan melaksanakannya dengan baik, penuh adab, dan sopan santun tanpa menyalahkan ataupun memaksa orang lain. Sebaliknya, bagi yang tidak ingin memperingatinya pun dipersilakan, selama tidak mengganggu mereka yang memilih untuk melaksanakannya.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyampaikan kesan seputar bulan Rabiulawal. Salah satu kesan yang patut dicatat adalah bahwa di antara keistimewaan umat Islam terdapat fakta bahwa tidak ada tradisi “peringatan” wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Maklum diketahui bahwa, makna bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hamba dan utusan Allah adalah mengetahui, meyakini, mengimani, dan membenarkan bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf—yang dilahirkan di Makkah dan wafat di Madinah—adalah hamba Allah dan utusan-Nya untuk seluruh alam semesta, baik jin maupun manusia. Beliau adalah penutup para nabi dan rasul Allah. Dengan demikian, ulama dan umat Islam sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw dilahirkan di Makkah dan wafat di Madinah.
Namun, perbedaan pendapat para ulama dan ahli sejarah tidak hanya menyangkut hari, bulan, dan tahun kelahiran Nabi Saw, tetapi juga mengenai apakah beliau dilahirkan pada malam hari atau pagi hari. Pendapat yang paling populer menyatakan bahwa kelahiran beliau terjadi pada tanggal 12 Rabiulawal. Sementara itu, al-Mas‘ūdī berpendapat pada tanggal 8 Rabiulawal, dan Maḥmūd al-Falakī berpendapat pada tanggal 9 Rabiulawal.
Demikian pula mengenai wafatnya Nabi Saw, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Sebagian berpendapat beliau wafat pada hari Ahad, sebagian lainnya menyatakan Senin pagi, bahkan ada yang berpendapat Senin siang, tepatnya pada tanggal 12 atau 13 Rabiulawal tahun ke-11 Hijriah.