Rahasia Rabiulawal: Syukur atas Kelahiran, Bukan Ratapan Wafatnya Rasulullah Saw

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Nabi Saw dilahirkan pada bulan Rabiulawal. Atas dasar inilah peringatan kelahiran beliau secara umum dilaksanakan pada bulan tersebut, meskipun terdapat perbedaan penentuan tanggal di berbagai negara. Merujuk pada kalender nasional di Indonesia, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw ditetapkan setiap tanggal 12 Rabiulawal.
Sementara itu, umat Islam di Iran, misalnya, merayakan Maulid Nabi Saw pada dua tanggal berbeda: 12 Rabiulawal yang diperingati oleh mayoritas Sunni dan sebagian Syiah, serta 17 Rabiulawal yang diperingati oleh mayoritas Syiah. Rentang waktu antara kedua tanggal tersebut dikenal sebagai Ḥafteh Waḥdat atau “Pekan Persatuan,” yaitu momentum yang dimaknai sebagai upaya memperkuat semangat persaudaraan dan persatuan antarmazhab dalam Islam.
Walaupun Nabi Muhammad Saw dilahirkan dan wafat pada bulan yang sama, yaitu Rabiulawal, umat Islam hanya memperingati kelahirannya, bukan kewafatannya.
Hal ini dapat dipahami karena kelahiran beliau merupakan anugerah agung bagi seluruh alam. Dengan kelahiran Nabi Saw, cahaya petunjuk dan risalah Islam hadir untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Adapun wafat beliau, meskipun merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam, dipandang sebagai peristiwa yang menimbulkan kesedihan mendalam bagi umat. Islam tidak menekankan pada peringatan kesedihan, melainkan pada penguatan keteladanan hidup beliau yang harus dijadikan pedoman.
Karena itu, umat Islam lebih memilih untuk mengekspresikan rasa syukur dan kebahagiaan atas kelahiran Nabi Saw, daripada larut dalam duka mengenang kewafatannya.
Selain itu, tidak adanya peringatan wafatnya Nabi Saw juga menunjukkan bahwa beliau adalah nabi dan rasul terakhir (khātam al-nabiyyīn). Tidak akan ada nabi atau rasul yang datang setelahnya.
Dengan demikian, syariat yang dibawa beliau adalah syariat terakhir yang menyempurnakan syariat-syariat nabi dan rasul sebelumnya, dan syariat Nabi Saw bersifat final. Inilah pesan penting bahwa risalah Islam berlaku universal, abadi, dan tidak akan tergantikan.
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menulis dalam Muḥammad al-Insān al-Kāmil-nya:
الشريعة الإسلامية هي أكمل وأشرف وأشمل رسالة للهداية، وهي الشريعة التي ختم الله بها شرائع السماء، وجعلها خالدة، وكتب لها البقاء إلى أن يرث الله الأرض؛ لذا كانت ثابتة مستمرة، قوية البناء، محكمة النظام، وافية بحاجة الأفراد والجماعات.
“Syariat Islam adalah risalah petunjuk yang paling sempurna, paling mulia, dan paling menyeluruh. Ia merupakan syariat yang dengannya Allah menutup seluruh syariat samawi, menjadikannya abadi, dan menulis takdirnya untuk tetap berlaku hingga Allah mewarisi bumi. Karena itu, syariat ini bersifat tetap dan berkesinambungan, kokoh bangunannya, teratur sistemnya, serta mampu memenuhi kebutuhan individu maupun kelompok.”