‘Raja Cawe-Cawe’
Sekarang Presiden Jokowi malah sudah terang-terangan mengakui secara terbuka ketika dilaksanakan konperensi pers di Istana Negara, 29 Mei 2023 di hadapan sejumlah para pemimpin media massa dan pembuat konten bahwa Jokowi menegaskan tidak akan netral pada Pilpres 2024.
Faktualisasinya, itu tidak saja disengaja berkeinginan dipublikasi, bahkan secara sadar pernyataan Jokowi sebagai Presiden itu kembali melanggar konstitusi tertinggi: tak ada bedanya kelembagaan Presiden itu seharusnya netral sama dengan sebagaimana status netralitas PNS, Polisi dan TNI yang diatur oleh UU Pemilu turunannya.
Boleh saja indikator tanda dan gejala itu berjumlah 14 point yang dilansir Prof. Deny Indrayana bersama penulis masih termasuk sebagai kategori pelanggaran etika demokrasi, tetapi pernyataan Jokowi tentang penegasan ketidaknetralannya itu bukti dari fakta nyata adanya penyalahgunaan kewenangan kekuasaan atau “Abuse of Power” yang berpotensi menjerat dirinya dalam kubangan dan belitan hukum pidana.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya “Si Raja Pembohong”, Jokowi membantah melakukan upaya cawe-cawe untuk urusan Pilpres 2024 ke kelompok eks-koalisi partai-partai oligarki pendukung pemerintahannya, selain hanya dan dengan alasan demi kepentingan negara. Lantas, pertanyaannya demi kepentingan negara yang mana juga?
Menurut konstitusi Jokowi itu sudah harus lengser 20 Oktober 2024 sudah tak ada banyak waktu lagi, maka sudah tidak ada lagi “kepentingan negara” yang sangat urgent dan mendesak bagi dirinya di sisa waktu jabatannya, kecuali melakukan taubatan nashuha di penghujungnya: dengan melakukan perbaikan-perbaikan paling crusial dan fundamental bagi bangsa itu, yaitu memfasilitasi demi hukum dan konstitusi tertinggi memperlancar Pemilu dan Pilpres 2024 serta menjamin dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan setinggi mungkin dalam penyelenggaraannya. Apakah itu memungkinkan?
Tampaknya seperti peribahasa pungguk yang merindukan bulan hasilnya bakal sia-sia, padahal di balik adanya yang disebutnya “kepentingan negara” itu, sesungguhnya adalah, adanya kepentingan sangat sesat, keras dan egois yang menyelimuti hawa nafsu ambisius kekuasaan Jokowi yang tereksploitasi dengan karakter, sifat dan atau watak serta gaya baru “Kepemimpinan Cawe-Cawe”, yang sesungguhnya merupakan bagian dari kendali tali kekang otoriter otoritarianismenya.
Dan cawe-cawenya itu dilakukan oleh Jokowi dari awal —bak raja-raja dari tradisi konvensional sejarah negeri ini yang mudah dihasut dan dipecah belah oleh para pembisiknya —kepada sekelompok oligarki korporasi konglomerasi, yang sesungguhnya merupakan langkah political initial error betapa sokongan dana dari oligarki untuk kemenangan meraih tahta singgasana kepresidenannya dulu tak sebanding dengan nilai harga diri dan kedaulatan negara serta bangsa yang harus dijunjunginya setinggi langit pada akhirnya hanya terjual bak barang sudah lekang dan terhina.
Jokowi jadi “Raja” atau Presiden itu bukan untuk melindungi kepentingan rakyat, tetapi kemudian terjerat kepada kepentingan segelintir orang itu sebagai elite political pattern yang melahirkan kekuatan luar biasa kekuasaan politik oligarki yang tak lain gagasan dan idiologinya menggeser dan bukan lagi pada nilai-nilai dan norma-norma luhur, tetapi diinstrisikkan secara fisik dengan kekuatan transaksi uang.
Itulah sesungguhnya kekuatan kepemimpinan cara cawe-cawe: negara dijadikan ajang transaksi bisnis dan proyek:
Maka, seluruhnya yang seharusnya urusan negara itu dilakukan dalam bentuk tanggung jawab kolaborasi dan kolektivitas rakyat sebagai wujud demokratisasi aspirasi dan partisipasi rakyat dimampatkan sampai mengkeret dan mengkerut hanya dikuasai segelintir orang yang termanifestasikan sebagai pemimpin dan pejabat elit politik di kelembagaan dan komisi tinggi negara dengan seragamnya menjadikan serba bisnis transaksional dalam tata kelolanya bersama kepentingan “vested interested” oligarki korporasi konglomerasi yang mengikutinya.
Dengan DPR, MA, MK, Kejaksaan Agung, bersama dengan lembaga-lembaga komisi tinggi negara, Presiden tinggal cawe-cawe menyesuaikan keinginan kepentingan oligarki itu.
Maka, produk UU banyak yang sungsang dikarenakan banyak menyepelekan dan menghilangkan kepentingan rakyat, kecuali kepentingan oligarki itu. Bahkan, parahnya cawe-cawe di dalam kabinetnya sendiri terjadi adanya adagium yang tampaknya sudah lumrah tanpa pengecualian, disebut “Kabinet Penguasa-Pengusaha”.