Ramadhan 1442 H di Bawah Bayang-Bayang Pandemi Covid-19
Menyempurnakan Bilangan Ramadhan
Tahun ini merupakan tahun kedua shaum Ramadhan di bawah bayang-bayang Pandemi Covid-19. Ini sekaligus Allah Aza wa Jalla memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk “menyempurnakan bilangan shaum” (Walitukmilul ‘Iddata – 002.185), tidak terganggu dengan ritual mudik lebaran. Sebagaimana dimaklumi, menyempurnakan bilangan Ramadhan adalah wajib yang momentumnya hanya sekali dalam setahun. Sementara mudik yang lebih bersifat tradisi dapat dilakukan pada kesempatan lain.
Berlatih Menjadi Imam Tarawih dalam Keluarga
Tahun lalu saat Covid-19 mulai mewabah, seruan azan ada tambahan kalimat “Ashshalatu fi Buyutikum – Shalatlah di rumah masing-masing”, karena warga terkena “isolasi wilayah” tidak boleh keluar rumah. Ini seolah-olah memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan beragama, terutama:
(a) Meningkatkan hafalan surat-surat pendek untuk keperluan mengimami shalat tarawih di rumah.
(b) Latihan ceramah mini secara bergilir antar-anggota keluarga, ayah, ibu dan anak-anak.
Shaum Ramadhan diikuti Shaum Syawal
Hikmah pandemi Covid-19 kaum muslimin di samping dapat menyempurnakan bilangan shaum Ramadhan, juga langsung diikuti shaum Syawal yang berkesinambungan mengikuti sunnah Rasul dan menapaki jejak tradisi para wali yang disebut “Sawalan” dan “Lebaran Ketupat”. Sehingga nilai shaum setara dengan shaum sepanjang tahun, 30 hari shaum Ramadhan enam hari shaum Syawal dengan ganjaran 10 kali lipat.
Paradigma Baru Shaum Sebulan Imsak Setahun
Sejatinya, inti shaum adalah imsak. Secara khusus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan shaum. Tetapi imsak secara umum adalah menahan diri dari yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, termasuk perilaku yang berlebihan atau isyraf. Imsak seperti ini tentu berlangsung sepanjang tahun, hingga tiba Ramadhan berikutnya. Dengan demikian shaum yang kita tunaikan dapat menjadi perisai diri dari perbuatan fahsya dan munkar serta dapat meninggalkan jejak dalam keseharian kita dalam bentuk berbagai amal saleh. Shaum seperti ini disebut shaum paradigma baru, Shaum Sebulan Imsak Setahun. Sehingga kita layak memperoleh ganjaran shaum sepanjang tahun dan masuk surga melalui pintu yang dijanjikan, pintu Arroyyan.
Rekayasa Sosial Menggeser Tradisi Mudik
Pada tahun ini pemerintah resmi melarang mudik lebaran dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Idul Fitri 1442 dan Upaya Pengendalian Covid-19 selama Ramadhan. Dan Kakorlantas Polri menyiapkan 333 titik Penyekatan Jalur untuk mendukung kebijakan Larangan Mudik Lebaran 2021 di 34 provinsi. Larangan ini seyogyanya tidak hanya soal pengendalian Covid-19, tetapi juga dimaksudkan pada yang lebih esensial lagi yaitu menjaga kesucian Ramadhan jangan dikotori dengan ritual mudik lebaran. Di samping itu, momentum ini dapat digunakan untuk menggeser tradisi mudik dari Lebaran Syawal ke Lebaran Haji. Karena sejatinya hari taya bagi umat Islam adalah Hari Raya Idul Adha, yang menurut tradisi para wali disebut Rayagung, empat hari berturut-tutur, Idul Adha dan Hari Tasyrik.
Sebagaimana biasa setiap menjelang Lebaran stasiun televisi menggelar “Laporan Khusus Mudik Lebaran”. Melalui tayangan itu kita dapat menyaksikan betapa kesucian Ramadhan terkoyak dengan berbagai ritual mudik. Coba tengok. Belum juga shaum Ramadhan dimulai, sebagian umat sudah memikirkan dan melakukan berbagai persiapan mudik. Mulai pemesanan tiket perjalanan, memesan rental kenderaan, menyiapkan oleh-oleh mudik, termasuk asesoris dan perhiasan yang akan dikenakan, dsb.
Persiapan ini akan terasa lebih dahsyat lagi saat menjelang sepuluh hari terakhir Ramadhan. Jamaah masjid mulai berkurang, mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan semakin ramai pengunjung. Bahkan tidak jarang terjadi, setelah pusing-pusing seperti gasing, mencari dan memilih belanjaan, menyeruput es sirup di depan toko di kaki lima, karena kehausan. Belum lagi saat di perjalanan yang mulai dipadati kendaraan. Apa mampu jamaah mempertahankan shaumnya? Shaum seperti itu jelas tidak akan meninggalkan jejak dalam keseharian. Puasanya, seperti puasanya ular Sanca. Setelah makan besar ia puasa berhari-hari. Setelah itu, berhari raya dengan berganti kulit. Lebih dari itu tidak ada perubahan yang berarti. Pasca puasa ia kembali kepada habitatnya semula, melanjutkan kebiasaan-kebiasaan buruk di luar bulan puasa.
Sudah saatnya kaum muslimin menggeser taradisi mudik Lebaran Syawal yang hanya sehari saja (1 Syawal), beralih ke mudik Lebaran Haji yang dirayakan selama empat hari berturut-turut (Idul Adha dan Hari Tasyrik) dengan Ritual utama Ibadah Qurban. Sekaligus pemerataan kemakmuran ke daerah-daerah pedesaan.
Sejatinya, inilah salah satu esensi larangan mudik Lebaran 1442. Untuk selanjutnya, diperlukan rekayasa sosial oleh semua komponen masyarakat terutama ormas-ormas Islam dengan dukungan Pemerintah untuk pranata sosialnya. Seperti pengaturan libur bersama, korting tiket mudik, Insentif Rayagung untuk Qurban, dsb. Ini akan lebih produktif dibanding dengan Lebaran Syawal yang bersifat konsumtif dan demonstratif.
Alangkah indahnya bila Larangan Mudik Lebaran 1442 tidak hanya untuk pencegahan penyebaran Covid-19, tetapi yang lebih esensial lagi: (1) Menjaga kesucian Ramadhan, (2) Memelihara sunnah Nabi Saw, (3) Menghidupkan kembali tradisi para Wali “Syawalan” dan “Lebaran Ketupat”, (4) Menggeser tradisi mudik dari lebaran Syawal ke lebaran Haji, Rayagung.
Billahi Fi Sabilil Haq!
Shofyan Achmad