Ramadhan dan Budaya Baca

Budaya baca di negeri kita masih sangat rendah. Dalam risetnya, UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001%. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang rajin membaca. Data ini juga diperkuat oleh riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dirilis pada Maret 2016 oleh Central Connecticut State University, yang menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Botswana yang menempati peringkat terakhir, sementara Thailand berada satu peringkat di atas.
Hasil riset ini tentu memprihatinkan kita. Riset terbaru kita yakin hasilnya tidak akan jauh dengan hal ini. Bayangkan hanya satu dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca. Makanya tidak heran, bila kita naik kereta api misalnya, hampir tidak ada yang membaca buku. Hampir semuanya membaca handphone. Bila yang dibaca adalah media massa di handphone lumayan, tapi ‘kebanyakan’ yang kita temui mereka di kereta api main game.
Ramadhan ini sebenarnya melatih kita untuk meningkatkan budaya baca. Hal itu dimulai lebih dulu dengan membaca Al-Qur’an. Meski membaca Al-Qur’an banyak masyarakat kita yang tidak tahu artinya, tapi dengan membaca mushaf menunjukkan mereka punya minat baca. Tentu, nantinya harus lebih ditingkatkan dengan memahami maknanya dan mengamalkannya.
Seperti kata Ibnu Taimiyah yang terkenal, barangsiapa yang tidak pernah membaca Al-Qur’an, ia meninggalkan Al-Qur’an. Barangsiapa yang membaca tapi tidak memahami maknanya, ia meninggalkan Al-Qur’an. Barangsiapa yang membaca dan memahami maknanya, tapi tidak mengamalkannya, ia meninggalkan Al-Qur’an.
Selain bulan Ramadhan yang mendorong kaum Muslim untuk meningkatkan minat baca, ayat Al-Qur’an yang pertama turun juga harusnya menumbuhkan minat baca. Iqra’, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, harusnya menjadi kebiasaan sehari-hari.
Di masa budaya HP yang tumbuh, minat baca buku memang menjadi turun. Para penerbit buku banyak mengeluh tentang rendahnya minat baca buku di tanah air. Banyak penerbit buku tutup atau gulung tikar, setelah sebelumnya banyak media massa cetak tutup.
Bagaimanakah menumbuhkan minat baca ini? Banyak caranya. Pertama, ikut dalam klub membaca buku. Dengan adanya komunitas membaca buku, maka kita terdorong untuk ikut membaca buku. Di komunitas itu anggota bisa saling bercerita tentang buku yang dibacanya.
Kedua, memaksa diri membaca buku. Hal ini bisa dilakukan dengan meletakkan HP, satu jam atau dua jam. Dengan tidak adanya HP di tangan, maka kita akan cenderung mencari bacaan lain. Buku bisa menjadi salah satu alternatifnya.
Ketiga, kunjungi toko buku terdekat. Dengan berkunjung, maka kita terpaksa akan membaca buku di sana. Minimal judul dan cover buku itu. Bahkan kalau kita berminat, bisa membelinya. Penulis membiasakan diri berkunjung ke toko buku minimal seminggu sekali. Dengan begitu kita mengetahui buku-buku yang baru yang masuk dan buku yang lama ada di toko buku.
Keempat, sering menulis atau mengarang. Dengan menulis, maka kita akan butuh bacaan. Bahan-bahan dari buku lebih komperehensif dan layak dikutip daripada di internet. Meski kadang di internet bahan penulisan juga banyak. Paling tidak dengan adanya buku baru, kitab isa menulis resensinya untuk pembaca.
Kelima, baca buku yang diminati. Bila anda senang dengan buku fiksi, bacalah buku fiksi. Bila anda senang dengan seorang penulis, bacalah buku-buku yang ditulisnya. Biasanya buku-buku best seller banyak diminati masyarakat. Maka cobalah baca buku-buku best seller itu.
Yang terpenting dari semuanya ini adalah dorongan dalam diri untuk membaca. Dorongan untuk menambah ilmu pengetahuan. Bila dorongan ini kuat, maka seseorang akan membaca buku bagaimanapun keadaannya. Tapi bila dorongan ini lemah, maka sesorang akan malas membaca. Salah satu yang membuat semangat membaca adalah ikut kelompok atau klub-klub buku.