#Ramadhan Berkah 1446 HNUIM HIDAYAT

Ramadhan dan Kekuasaan

Seorang presiden yang korup dan jahat, lebih buruk dari petani tembakau. Seorang gubernur yang bermewah-mewah sementara rakyatnya banyak yang kelaparan, maka gubernur itu lebih buruk dari tukang sapu masjid.

Maka dalam Islam, kekuasaan diraih dengan musyawarah. Lihatlah Rasulullah dan khulafaur Rasyidin Ketika menjadi kepala negara. Semua dilakukan dengan musyawarah. Tidak ada diantara mereka yang memiliki ambisi dan kemudian melakukan segala cara agar dipilih menjadi pemimpin.

Di alam materialisme yang hampir segalanya diukur dengan uang, maka kekuasaan pun diraih dengan cara menyebar uang atau bersekongkol dengan para konglomerat yang banyak uang. Rakyat diguyur uang atau sembako agar memilih dirinya sebagai presiden, anggota DPR atau gubernur. Dan rakyat yang kebanyakan awam terhadap agama akhirnya mengikuti pola permainan yang ‘busuk’ ini.

Ramadhan ini melatih para pemimpi atau pejabat agar meraih kekuasaan dengan cara yang halal. Juga melatih mereka agar dalam menjalankan kekuasaan dengan Amanah. Bila puasa sebulan penuh ini tidak memperbaiki akhlak pemimpin, maka puasa itu seperti tidak ada artinya. Rasulullah menyatakan bahwa berapa banyak orang yang berpuasa, tapi yang didapat hanya lapar dan dahaga. Itulah puasanya orang awam, seperti yang diingatkan Imam Ghazali.

Imam Ghazali membagi tingkatan orang berpuasa menjadi tiga. Pertama, puasanya orang awam. Yaitu puasa yang bertujuan menjalankan kewajiban saja dan mencegah makan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa. Ia tidak mencegah dari berbohong, fitnah, sombong dan lain-lain. Puasanya sah, tapi pahalanya kecil atau hilang pahalanya.

Kedua, puasanya orang khusus. Yaitu puasanya orang yang berusaha mendekatkan diri pada Allah. Selain mencegah makan dan minum, ia juga mencegah mulutnya berbohong, tangannya mencuri dan lain-lain. Ia mencegah hal-hal lahir maupun batin yang bisa mengurangi pahala puasa.

Ketiga, puasanya orang Istimewa. Ini adalah puasanya kekasih Allah (auliya’) dan para Nabi (anbiya’). Mereka berpuasa untuk terus mendekatkan diri pada Allah dan melupakan dunia yang fan aini. Mereka terus melakukan aktivitas yang ditujukan untuk akhirat. Ibarat pedagang, selama Ramadhan ia berhenti berdagang, setelah 11 bulan beraktivitas untuk menghasilkan uang. Ia menghentikan sejenak aktivitas dunia untuk diganti dengan aktivitas yang berorientasi akhirat. Ia memperbayak shalat, membaca Al-Qur’an, mengajar atau mencari ilmu, bersedekah dan semacamnya.

Para pemimpin di bulan Ramadhan ini harus merenung dan mengevaluasi diri, apakah kekuasaan yang digenggamnya telah dipergunakan sepenuhnya untuk mencari keridhaan Allah dan kemakmuran rakyatnya atau tidak. Apakah kepemimpinan yang digenggamnya lebih banyak untuk memakmurkan diri dan partainya daripada rakyatnya. Apakah kekuasaan yang digenggamnya hanya untuk mendapat tepuk tangan pendukungnya atau benar-benar digunakan untuk keadilan dan kemakmuran rakyatnya.

Ramadhan harusnya bisa membersihkan jiwa pemimpin. Bila jiwa bersih, maka seorang pemimpin akan ringan tangan menolong rakyatnya. Akan ringan badan membantu rakyatnya yang kesusahan atau hidup dalam kemiskinan. Pemimpin yang bermewah-mewah dan suka mengeluh, menunjukkan jiwanya kotor. Pemimpin yang mengutamakan golongan atau partainya daripada rakyatnya juga menunjukkan jiwanya kotor.

Indonesia bisa menjadi adil dan makmur, bila para pemimpin jiwanya bersih. Jiwa yang disinari Al-Qur’an, jiwa yang disinari Cahaya Ramadhan. Bila para pemimpin jiwanya kotor, jangan harap Indonesia menjadi adil dan makmur, yang ada Indonesia miskin dan mundur. Semoga Allah menolong kita dari para pemimpin yang berjiwa kotor. Wallahu azizun hakim. []

Nuim Hidayat

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button