Rencana Evakuasi Warga Gaza, Isu Penjajahan Berbalut Kemanusiaan
Rencana Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza atas nama misi kemanusiaan jelas menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan.

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia siap mengevakuasi warga Palestina yang terdampak konflik berkepanjangan dengan Zionis Yahudi di Jalur Gaza. Tujuannya untuk memberikan perawatan medis dan dukungan psikologis hingga keadaan di Jalur Gaza memungkinkan untuk mereka kembali ke sana.
Presiden Prabowo juga mengatakan bahwa Indonesia siap mengirimkan pesawat untuk menjemput para korban pada gelombang pertama evakuasi. Gelombang pertama ini diprediksi mencakup sekitar 1.000 warga Gaza. Pernyataan Presiden Prabowo ini disampaikan saat memulai lawatan ke Timur Tengah dan Turki.
Pernyataan Presiden ini berbeda dengan sikap Indonesia sebelumnya. Sebelum ini, Kemenlu RI menyatakan dengan tegas bahwa pemindahan warga Palestina dari Gaza dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima. Sebab, hal tersebut menjadi jalan bagi Zionis Yahudi dan Amerika Serikat untuk merealisasi tujuannya untuk mengusir warga Gaza dari wilayahnya. (Akun X Kemenlu RI, 5 Februari 2025).
Rencana Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza atas nama misi kemanusiaan jelas menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan. Sebab, masalah Palestina bukan semata-mata tentang masalah kemanusiaan. Bukan pula tentang korban luka, anak-anak yang menjadi yatim, dan para korban yang mengalami trauma.
Masalah Palestina merupakan masalah penjajahan dan pendudukan yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Sejatinya, masalah ini adalah masalah ideologis dan agama yang perlu dipahami secara komprehensif oleh umat dan para pemimpinnya. Menjadikan solusi kemanusiaan sebagai pendekatan utama seperti evakuasi dan relokasi sementara, justru terkesan bahwa para penguasa negeri-negeri Muslim menjauh dari solusi hakiki yang disyariatkan, yakni jihad fii sabilillah untuk membebaskan Palestina dan menolak penjajahan.
Evakuasi ataupun relokasi sementara niscaya tidak akan menyentuh akar permasalahan Palestina. Sebaliknya, berpotensi memperlemah posisi umat Islam di dunia untuk mengirimkan tentaranya ke Gaza. Lebih dari itu, langkah tersebut sering kali makin membuat umat terjebak dalam narasi dan kepentingan Barat, khususnya Amerika Serikat yang sejak awal diketahui sebagai pendukung utama entitas Zionis Yahudi.
Upaya mengalihkan perhatian kaum Muslim dari perjuangan pembebasan ke isu kemanusiaan semata, jelas membuat Amerika Serikat makin mulus menjalankan kebijakan geopolitiknya di Timur Tengah. Sokongan terbuka Amerika Serikat terhadap genosida yang dilakukan oleh Zionis Yahudi atas rakyat Palestina niscaya lebih mudah diterima oleh dunia internasional. Sebab umat Islam sendiri telah digiring untuk melihat masalah Palestina menggunakan kacamata kemanusiaan, bukan sebagai penjajahan yang wajib dilawan dengan jihad.
Solusi evakuasi ini juga seolah membiarkan Zionis Yahudi merebut tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslim. Pada akhirnya, solusi-solusi yang diambil oleh para pemimpin negeri-negeri Muslim saat ini mencerminkan upaya menjaga hubungan baik dengan tuan-tuannya di Barat daripada menampakkan keberpihakannya pada derita kaum Muslim Palestina. Alhasil, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa tiada keadilan hakiki bagi Palestina selama umat mengabaikan akar permasalahan dan solusi hakiki yang telah ditunjukkan oleh Islam.
Masalah Palestina jelas bukan tentang kemanusiaan semata. Bukan pula tentang konflik antara dua negara atau bangsa. Ini adalah tentang penjajahan atas tanah milik kaum Muslim, penodaan kesucian terhadap tanah para nabi, dan pendudukan wilayah kaum Muslim yang seharusnya dibela dan dijaga oleh seluruh umat Islam.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Anfal ayat 39 yang artinya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa jihad disyariatkan untuk menghilangkan fitnah, yakni kekafiran dan penindasan terhadap Islam dan umatnya, serta untuk menegakkan kedaulatan Islam.
Jelas, tidak cukup dengan mengecam dan diplomasi, serta tidak cukup pula dengan mengirimkan bantuan medis dan obat-obatan. Selama penjajahan atas Palestina terus berlangsung maka jihad tetap menjadi kewajiban. Kewajiban ini sejalan dengan apa yang diserukan oleh para ulama dunia yang tergabung dalam International Union of Muslim Scholars (IUMS) yang mengeluarkan 15 poin fatwa, salah satunya seruan jihad untuk melawan Israel.
Tentunya, sambutan seruan jihad ini hanya dapat dilakukan oleh para penguasa negeri-negeri Muslim yang memiliki pasukan militernya, serta memiliki kemauan yang kuat untuk membebaskan saudaranya dari tirani penjajahan Zionis Yahudi. Sayangnya, melihat konstelasi politik Dunia Islam saat ini, ditambah sikap para pemimpin negeri-negeri Muslim yang diantaranya menormalisasi hubungan dengan Zionis Yahudi di belakang punggung kaum Muslim, rasanya mustahil berharap seruan jihad ini dapat diwujudkan hari ini.
Alhasil, membutuhkan sebuah institusi politik yang mampu mewujudkan persatuan dan kekuasaan umat ini dalam sebuah bingkai negara yang menerapkan Islam secara komprehensif. Sehingga mampu menyambut seruan jihad yang ditetapkan oleh syariat dan mengirimkan pasukan militer terbaiknya untuk membebaskan Palestina, sebagaimana Shalahuddin Al-Ayyubi dan bala tentaranya membebaskan Palestina. Wallahu’Alam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan