Rencana Pembebasan Ustaz ABB: Motif Kemanusiaan atau Kepentingan?
Jika alasan kemanusiaan dirasakan terdapat kejanggalan, bagaimana dengan alasan kepentingan pemenangan Pilpres. Tidak dinafikan, waktu Pilpres yang semakin mendekat, menjadikan setiap pasangan calon memaksimalkan berbagai siasat.
Pembebasan ustaz pun dianalisis sebagai cara yang dimaksudkan untuk meraih simpati pemilih dari kalangan Muslim. Setelah santer label Pemimpin Anti-Islam disematkan kepada petahana, kini pembebasan ustaz dinilai jitu dapat menghapuskan stigma tersebut.
Apalagi sebenarnya, petahana sebelumnya telah lebih dulu membebaskan bersyarat Robert Tantular, Mantan Pemilik Bank Century. Tentulah tindakan tersebut menuai kecaman keras dari KPK. Seolah memang telah terjadi tebang pilih dalam penegakkan hukum di negeri ini.
Inilah ironi negeriku. Hukum seolah dapat dipermainkan sesuai kepentingan.
Sebagai seorang Muslim yang Allah perintahkan untuk berpikir dan bersikap cermat, marilah kita selalu bertindak waspada dan cerdas dalam menyikapi setiap keputusan yang diambil penguasa. Umat jangan mudah dibuat bahagia sementara, padahal hakikatnya hanya untuk memuluskan jalan kekuasaannya.
Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup yang mulia, mengajarkan penguasa untuk memiliki hubungan yang harmonis dengan rakyatnya. Begitu pun rakyat untuk tak segan mengoreksi penguasa jika terjadi penyimpangan dalam amanah kekuasaannya.
Semua interaksi dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Penguasa berkewajiban menerapkan Islam secara komprehensif, barulah rakyat diwajibkan untuk melaksanakan dengan penuh ketaatan.
Namun, jika penguasa hanya sebagai pihak perpanjangan tangan dari sebuah kepentingan juga kemanfaatan yang berseberangan dengan perintah dalam Al-Quran dan As Sunah, maka sebuah kewajaran jika rakyat bersikap selalu waspada akan segala kebijakan dan keputusan yang ditetapkannya. Hal demikian sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah saw.
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telaga (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telaga (di hari kiamat)” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Wallahu’alam bishowab.
Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)