Republik dalam Bahaya
Jokowi tahu Lembong adalah tokoh yang berintegritas dan Luhut serta Bahlil yang sekarang masih duduk di pemerintahan membencinya. Karena itu, menjadikan Lembong sebagai koruptor akan membawa publik pada asumsi bahwa pelakunya adalah pemerintah.
Motifnya adalah mendelegitimasi dan pembusukan rezim Prabowo. Jokowi menggunakan Kejaksaan Agung karena Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah loyalisnya dengan rekam jejak yang tidak baik. Pada 2020, Indonesia Corruption Watch mendesak Jokowo memecatnya karena tidak becus memimpin lembaganya dalam penanganan perkara.
Dus, ST Burhanuddin adalah pasien komorbid Jokowi yang bisa disuruh-suruh demi menyelamatkan dirinya. Memanfaatkan orang-orang bermasalah untuk melayani kepentingan diri dan keluarganyanya adalah model berpikir Jokowi.
Nampaknya kasus Lembong baru merupakan awal manuvernya. Mengingat KPK, badan intelijen, kepolisian, dan Kejaksaan Agung diduduki loyalis Jokowi, maka bisa jadi kasus-kasus semacam Lembong akan juga dimainkan lembaga-lembaga penegak hukum tersebut. Ini akan membahayakan Republik karena ada kekuasaan bayangan yang jauh lebih kuat dari pemerintahan yang sah yang punya itikad buruk.
Kita tidak dapat menyepelekan asumsi-asumsi yang muncul di publik bahwa Jokowi menginginkan Gibran menggantikan Prabowo secepatnya melalui aksi-aksi yang mengganggu pemerintah. Artinya, skandal-skandal lain akan terus bermunculan dengan tujuan mendestabilkan negara.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Prabowo kecuali membersihkan pemerintahan dan negara dari elemen-elemen Jokowi yang merusak.
Yang pertama yang harus dilakukan adalah menyingkirkan Fufufafa yang menjadi alasan pokok Jokowi mengganggu kepemimpinan Prabowo. Semua Lembaga negara yang terkait dengan masalah ini harus bekerja sama untuk melengserkan Fufufafa demi Republik.
Langkah berikutnya adalah mencopot semua pejabat yang terkait Jokowi. Mereka ini secara aneh lebih loyal kepada Jokowi ketimbang pada Prabowo. Ini terlihat dari diciumnya tangan Fufufafa oleh Bahlil Lahadalia, Ketum Umum Golkar, ketika pada saat bersamaan ia tidak melakukannya untuk Prabowo, atasannya, dalam acara retret di Magelang. Tidak mudah, tapi harus dilakukan. Ini satu-satunya cara untuk memungkinkan pemerintahan bisa berjalan normal.
Kalau Prabowo tidak sanggup melakukannya, maka tak usah heran bila publik mencurigai ia telah juga tersandera kasus yang membahayakan dirinya.
Karena itu, meskipun dengan sempoyongan, Prabowo akan mempertahankan status quo meskipun dengan harga mahal yang harus dibayar Republik.
Prabowo hanya akan muncul sebagai tokoh sejarah bila ia mengembalikkan Indonesia ke rel reformasi sebagaimana dicita-citakan bangsa pada 1998. Kalau tidak, ia hanyalah pecundang yang nasibnya lebih buruk dari presiden-presiden sebelumnya. Lebih buruk lagi, bila ia hanya akan dikenang sebagai penghancur Republik.[]
Tangsel, 3 November 2024
Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)