Reuni 212 dan Kondisi Umat Islam
Umat Islam sebenarnya harus paham bahwa hidup ini diperintahkan bertakwa, menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan jangan sampai mati kecuali dalam keadaan Muslim yaitu yang keimanannya benar.
Perintah dan larangan itu sudah tercakup dalam Alquran dan Hadits (Sunnah). Sehingga segala urusan hidup ini tinggal merujuk kepada keduanya.
Dalam kenyataan, tidak semudah itu. Hal-hal yang diperintahkan ataupun dilarang, walau ayatnya jelas, haditsnya jelas, namun belum tentu Umat Islam memahaminya dengan baik, tepat. Bahkan kemungkinan banyak yang tidak tahu. Karena kebanyakan orang, biasanya hanya melihat pemimpin-pemimpin atau orang-orang terkemuka. Bila panutan mereka itu melakukannya, maka banyak orang akan menganggapnya boleh-boleh saja. Dalih mereka, kalau itu haram, atau tidak boleh dalam agama, atau makruh; kenapa para tokoh Islam di sini dan di sana melakukannya.
Dengan kenyataan kebanyakan Umat Islam seperti itu, maka sering-sering dai ataupun Ustadz bahkan ulama yang membawa dalil dan pendalilannya benar, tetap akan dibantah. Karena dianggap bertabrakan dengan yang dilakukan tokoh-tokoh panutan mereka.
Contoh kasus. Setiap umat Islam mustinya paham bahwa menistakan ayat Alquran (dengan mengatakan, jangan mau dibohongi pakai al-Maidah 51) itu haram. Itu menghina Islam. Itu melakukan penodaan agama.
Setelah paham bahwa tingkah seseorang yang berkata “jangan mau dibohongi pakai al-Maidah 51” itu jelas menodai/ menista agama (Islam), Umat Islam juga melihat, dari pihak penoda Islam itu ternyata juga banyak pembela-pembelanya. Bahkan ada sejumlah kelompok yang terang-terangan membela penista Islam itu.
Selang beberapa waktu, kemudian para pembela penista Islam itu menjagokan para calon-calon untuk legislative bahkan juga calon presiden.
Secara alur pemahaman Islam, mustinya Umat Islam juga tahu, siapapun yang diusung oleh para pembela penista agama itu tadi (baik itu caleg maupun capres) tidak boleh dipilih oleh Umat Islam. Namun kembali lagi, keadaannya tidak semudah itu. Karena yang mereka lihat bukannya ayat atau hadits yang melarangnya, tetapi panutan mereka melakukan apa. Ketika ada dari panutan mereka itu justru bergabung dan mendukung kelompok-kelompok yang tadinya menjadi pembela penista agama, maka ya panutan mereka itu yang mereka lihat.
Bukan melihat ayat dan hadits yang melarangnya. Sehingga, ayat yang melarangnya pun tidak dipatuhi, karena panutan mereka dianggapnya lebih tahu tentang itu, tetapi kenyataannya mendukung kelompok pembela penista Islam. Jadinya para pengikut itu menganggap panutannya itulah yang perlu diikuti, dan tidak ditengok lagi ayatnya. Ayatnya masih dapat dibaca. Ada larangan dari Allah Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ قَدۡ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡقِلُونَ [ آل عمران:118-118]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [Al ‘Imran:118]
Pihak yang membela penghina Islam atau bahkan membenci atau memusuhi Islam, atau menolak perda-perda syariat Islam bahkan mencabutnya, atau diam saja tidak bereaksi ketika di depannya ada yang jelas-jelas menyebarkan perkataan penolakan terhadap perda syariat, padahal sebenarnya mampu bereaksi untuk menepisnya, maka itu jelas termasuk dalam بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ tersebut, yang tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan.
Nah, antara adanya ayat larangan menjadikan mereka (dalam kasus ini yang mendukung atau membela penista Islam) sebagai teman kepercayaan, di satu sisi, dan adanya penutan atau tokoh yang justru bergabung dengan pembela penista Islam itu, maka para umat yang jadi pengikut kurang mampu memahami bahwa itu haram.
Di saat kedaan umat sedang mengalami akan tergelincir ke arah haram namun tidak begitu merasakannya, itu harus cepat-cepat diselamatkan pemahamannya. Bagaimana caranya, maka harus dicari cara yang kira-kira dapat nyambung dengan kasus awalnya.
Dikumpulkanlah umat Islam di acara yang diduga mudah untuk menyampaikan pemahaman yang harus segera diselamatkan itu. Terkumpullah jutaan umat Islam dari Jakarta dan berbagai daerah dalam satu acara di Jakarta. Isi pokoknya ada tausiah dari yang dinilai akan mampu menyampaikan pemahaman kepada umat Islam. Diserukanlah pemahaman dari kota suci Makkah oleh HRS, lewat alat komunikasi, disampaikan kepada jutaan umat Islam yang sedang berkumpul itu.
Kata HRS, tidak ada sedikit pun keraguan, bahwa “(Pada) Pilpres dan Pileg 2019, haram kita memilih capres dan caleg yang diusung partai-partai pendukung penista agama,” serunya tiga kali.
“Saya ulangi sekali lagi, di Pilpres dan Pileg 2019, haram, haram, haraam kita memilih capres dan caleg yang diusung partai-partai pendukung penista agama,” tegasnya.
“Sekali lagi haram, haram, haram, memilih capres dan caleg dari kalangan mereka siapa pun orangnya yang jadi calonnya,” serunya.
Diserukannya lafal haram dengan ditekankan berkali-kali itu, ditambah dengan suasana dan keterkaitan tempat serta perjuangan dua tahun lalu ketika Umat Islam sedang memprotes penista agama (Islam) agar ditangkap dan diadili, kemudian alhamdulillah memang diadili dengan divonis dua tahun penjara karena terbukti menodai agama (Islam); maka nyambung. Umat mudah untuk memahaminya. Bahwa perjuangan yang berpayah-payah dua tahun lalu itu jangan disia-siakan begitu saja. Dan masih ada kaitan yang sejalur untuk diperjuangkan pula.
Untuk menyampaikan ayat dan hadits ternyata dalam kasus ini perlu perjuangan dengan mengumpulkan umat Islam sejumlah jutaan pula, bersama para pejabat, ulama, dan tokoh masyarakat. Selama cara-cara itu tidak melanggar prinsip syariat Islam, tidak ada pengkultusan, tidak ada pembuatan muhdats dalam agama, dan terjaga dari hal-hal yang terlarang, maka insya Allah akan besar pengaruhnya terhadap pemahaman umat Islam yang memang belum tentu mudah untuk mencerna ayat dan hadits secara begitu saja.
Bila itu mampu dilaksanakan dengan terhindar dari hal-hal yang tidak sesuai dengan syariah, maka semoga saja termasuk muroghomah. Salah satu ibadah penting yang banyak ditinggalkan kaum muslimin adalah muroghomah, yaitu berupaya membuat musuh-musuh Islam marah. Ini berdasarkan QS. Al-Taubah: 120.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Taubah: 120)
Bila itu memang merupakan ajang silaturrahim dan untuk menyampaikan ayat dan hadits demi mencari ridho Allah, maka semoga saja menjadi ajang pula untuk memberi kepahaman bahwa demi mencari ridho Allah musti segalanya sesuai dengan peraturan Allah Ta’ala. Sehingga apa yang dicita-citakan untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan baldatun thoyyibatun wa robbun ghafuur dapat diijabahi.
Di samping itu, ketika kita senantiasa berhati-hati, dalam mencari ridho Allah senantiasa mengikuti aturan Allah dengan menghindari segala pelanggaran, maka akan terhitung sebagai amal kebaikan. Sedang berbuat baik yang sesuai dengan syariat Allah itu tak-kan disia-siakan pahalanya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِين
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Taubah: 120)
Wallaahu a’lam bisshawaab.
[Hartono Ahmad Jaiz]