Revisi UU ITE untuk Siapa?
Wacana revisi UU ITE meluncur dari bibir orang nomor satu di Republik ini. Dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-POLRI pada Senin (15/2), Jokowi akan meminta DPR bersama-sama merevisi UU ITE jika undang-undang itu tidak memberi rasa keadilan (cnnindonesia.com, 17/02/2021). Selain itu, ia meminta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif menerima laporan pelanggaran UU ITE.
Bermula dari pernyataan presiden yang meminta masyarakat aktif menyampaikan pendapat dan kritik. Pernyataan ini menuai berbagai komentar publik. Di antaranya, ekonom senior Kwik Kian Gie yang mengaku takut menyampaikan pandangan berbeda atau kritik pada pemerintah karena adanya buzzer.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan buzzer menimbulkan keresahan di masyarakat. Secara sistematis, mereka bisa menyerang akun sosmed yang dianggap lawan, hingga akun itu take down. Tak jarang, mereka kuliti si pengkritik pemerintah, luar dalam hingga bawa-bawa keluarga si pengkritik. Diduga kuat, ada juga yang bertugas membuat laporan ke polisi, senjatanya adalah UU ITE. Ngeri memang.
Melansir dari tempo.co (17/02/2021), Amnesty International mencatat kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE. Sepanjang tahun 2020, terdapat 119 kasus, dan 141 orang menjadi tersangka, di antaranya ada 18 aktivis dan empat jurnalis. Jumlah ini terbanyak selama enam tahun terakhir. Banyak dari mereka dituduh melanggar UU ITE setelah memberikan kritik pada pemerintah.
Revisi UU ITE untuk Siapa?
Seserius apakah pemerintah untuk menerima kritik dan masukan dari masyarakat. Tidakkah ini hanya kamuflase dan lips servis belaka. Untuk siapa revisi UU ITE itu. Ada beberapa catatan untuk menjawab hal tersebut.
Pertama, pernah direvisi. Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah pernah direvisi pada tahun 2016 dan berganti menjadi UU No. 19 tahun 2016. Namun revisi itu tak menghapus pasal karet yang selalu menuai masalah di UU ITE.
Dua dari sembilan pasal karet yang sering kita dengar yaitu pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2. Pasal 27 ayat 3 soal penghinaan dan pencemaran nama baik, pasal ini yang menjerat Prita dan Baiq Nuril. Pasal 28 ayat 2 soal ujaran kebencian, ini yang menyeret Ahmad Dhani dan alm. Ust. Maheer At-Thuwailibi.
Revisi di tahun 2016 hanya mengurangi sanksi di beberapa pasal. Patut diduga, revisi kali ini pun takkan jauh berbeda.
Kedua, jaringnya para pejabat. Sebesar 35,9% pelapor kasus UU ITE adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat tinggi lainnya (tirto.id, 18/10/2018). Jadi, siapa penikmat UU ITE?
Ketiga, pencitraan politik. Analis Politik Exposit Strategy Arif Susanto menduga wacana revisi UU ITE sebagai pencitraan politik (cnnindonesia.com, 19/02/2021). Berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia menurun.
Pemerintah perlu menyelamatkan muka di tengah berbagai kritik publik juga sorotan dunia internasional. Sebab pemerintah nyaris tak mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan baik. Lihatlah penanganan pandemi, PJJ yang bermasalah, serta ketidakadilan hukum yang telanjang.
Keempat, tak ada jaminan kritik tak berujung penjara. UU ITE hanya salah satu alat pembungkam kritik. Direvisi bahkan dihapus sekalipun, pemerintah telah menyiapkan jerat berikutnya. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) diduga kuat menjadi instrumen pengganti UU ITE.
Sebelumnya, ada SKB 11 Menteri soal Penanganan Radikalisme di ASN. Definisi radikalisme dan ekstremisme yang tidak jelas, membuka peluang kedua aturan ini menjadi alat untuk mengkriminalisasi pihak yang berseberangan dengan rezim.
Lihat kasus Pak Din Syamsuddin, tokoh Muhammadiyah ini kerap melontarkan kritik tajam pada pemerintah. Akibatnya, beliau pun dilaporkan atas dugaan radikal ke Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kritik dalam Kacamata Demokrasi vs Islam
Kebebasan berpendapat yang diagung-agungkan oleh demokrasi ternyata hanya utopis, bullshit. Demokrasi akan membunuh dirinya lewat tangan penguasa terpilih dan berubah menjadi otoritarianisme. Sejak saat itulah, kritik atau pendapat yang berseberangan dengan rezim akan dibungkam, demi melanggengkan kekuasaan.
Sekalipun tak berubah menjadi otoritarianisme, demokrasi tetaplah bermasalah. Sistem aturan buatan manusia ini, takkan mampu memenuhi rasa keadilan. Karena bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Kritik yang seharusnya dipandang sebagai refleksi kinerja, justru dianggap membahayakan kedudukan si pejabat.
Berbeda dengan islam, kritik kepada penguasa justru merupakan kewajiban bagi setiap individu rakyat. Kritik atau muhasabah lil hukam adalah aktivitas mengoreksi penguasa yang lalai, salah, atau keliru dalam menjalankan tugasnya atau pribadinya.
Kewajiban ini bersandar pada keumuman wajibnya amar makruf nahi mungkar. Diantaranya dalam surah Ali Imran ayat 104. Dan hadits Rasulullah Saw. tentang mencegah kemungkaran, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaknya mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaknya mengubah dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Secara khusus, Rasulullah Saw memuji aktivitas mengoreksi penguasa. Rasul Saw. bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).
Aktivitas mengoreksi penguasa ini telah dicontohkan oleh baginda Nabi Saw. Satu diantara peristiwa muhasabah bil hukam, beliau menasehati Ibnu Luthbiyah, seorang petugas amil zakat, yang mengambil hadiah dari masyarakat, ketika melaksanakan tugasnya. Para sahabat yang mulia serta generasi terdahulu, melanjutkan aktivitas mengoreksi penguasa tanpa rasa takut.
Demikianlah Islam memberikan mimbar bebas bagi para pengoreksi penguasa. Wallahu a’lam []
Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)