Rezim Ingkar Janji, Layak Diakhiri
Tahun ini tak terasa rakyat Indonesia akan kembali ikut dalam hajatan lima tahunan, Pileg dan Pilpres. Lima tahun yang lalu, hati rakyat pernah dibuat berbunga-bunga dengan berbagai harapan dan janji oleh rezim sekarang. Tentu rakyat masih ingat dengan harapan dan janji itu.
Sebut saja tentang kebijakan ketahanan pangan, yang saat kampanye 2014 Pak Jokowi menyebutkan akan menghentikan impor berbagai macam bahan pangan demi memuliakan petani. Namun sampai di akhir pemerintahannya ternyata impor pangan baik beras, jagung, tebu, bawang, kedelai bukannya menurun tapi justru cenderung naik. Hal ini sungguh sangat merugikan petani, karena mereka harus bersaing dengan bahan pangan impor. Petani pun harus terus gigit jari.
Rezim ini yang awal mula dipromosikan seolah pemimpin yang merakyat nyatanya justru memihak pada kepentingan para pemilik modal. Alih-alih mereka berupaya mensejahterakan rakyat, mereka justru “berselingkuh” dengan asing ataupun aseng. Sebut saja divestasi Freeport yang justru menguntungkan PT. Freeport, bahkan dipakai untuk politisasi meraup suara rakyat yang mungkin tak melek politik. Infrastruktur jalan yang seharusnya nya untuk kesejahteraan rakyat seutuhnya, nyatanya justru dibuat untuk ladang bisnis. Infrastruktur itu tidak diberikan secara gratis, justru rakyat harus mengorek kantong yang tak sedikit. Ini bukti juga bahwa pemerintah lebih memihak kepada para pemilik modal daripada untuk kepentingan rakyat.
Rezim ini juga menoreh sejarah ketergantungan yang luar biasa dengan Cina yang sejatinya pemegang ideologi sosialisme-komunisme. Ketergantungan ini berupa utang yang tak sedikit atas nama investasi pembangunan infrastruktur. Dan nyatanya hal ini berpengaruh terhadap arah perpolitikan, termasuk negeri ini seolah tidak berdaulat terhadap kasus umat Islam Uighur, Xinjiang. Investasi telah membuat rezim ini tuli dan tak peduli.
Janji menyejahterakan rakyat nyatanya masih sebatas isapan jempol. Alih-alih rakyat sejahtera, malah sebaliknya rakyat semakin melarat dengan kebijakan yang diterapkan. Pada kenyataannya, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin melarat terbelenggu biaya hidup yang semakin mencekik. Pajak diberlakukan di segala lini kehidupan, pun juga mereka harus membayar iuran kesehatan berupa BPJS setiap bulannya. Jaminan Kesehatan Nasional hanyalah jargon untuk membohongi rakyat, seolah rezim sudah menjamin kesehatan rakyat, padahal rakyat semakin sulit mendapatkan akses kesehatan di era BPJS ini.
Rakyat juga diberi harapan, bahwa lapangan kerja akan dibuka secara luas. Harapan itu juga ternyata kosong. Gelombang PHK justru terjadi. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan gelombang PHK di berbagai daerah sedang terjadi. Terdapat catatan KSPI terkait beberapa kasus PHK yang terjadi sepanjang tahun 2018. Dari catatan yang ada, total buruh yang di-PHK mencapai 15 ribu lebih. Menurut dia, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan kasus-kasus PHK yang terjadi. Berdasarkan catatan KSPI, sektor industri yang akan terancam meliputi garmen, tekstil, elektronik, otomotif, farmasi, industri baja dan semen dan sebagainya. (Republika.co.id, 15/1/2019).
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manan membenarkan bila orang-orang kaya di Indonesia merupakan kelompok utama yang menikmati pertumbuhan ekonomi di tanah air. Hal ini diketahui dari distribusi kekayaan dan pengeluaran. Berdasarkan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, kata Manan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Menurut dia, hal ini menjadi pertanda adanya ketimpangan distribusi kekayaan.