Risiko Wartawan atau Penulis

Menjadi penulis atau wartawan tidaklah ringan. Apalagi wartawan ekonomi, sosial politik atau wartawan perang. Resiko di-bully, diadili, ditangkap, dipenjara bahkan dibunuh tidak terhindarkan.
Ketika wartawan mengungkap sebuah fakta, maka kadang ada orang yang tidak suka fakta itu diungkap. Karena tidak suka, orang itu bisa mengajukan wartawan itu ke pengadilan, mencederainya atau bahkan membunuhnya.
Saya merasakan sendiri bagaimana saya ‘diadili’ karena saya mengritik pejabat di negeri ini. Tulisan saya tentang “Istighfarlah Yaqut” di suaraislam.id mendapat reaksi keras para pendukung Yaqut. Rumah saya mau didatangi Banser (akhirnya batal) dan saya diadili di kantor MUI Depok. Yang mengadili tokoh-tokoh NU Depok, Banser Depok dan pimpinan MUI Depok serta Kepala Kantor Kemenag Depok. Di forum itu saya ‘dipaksa’ untuk minta maaf, saya menolak. Kemudian saya diancam dilaporkan polisi oleh mereka.
Baca: Ketika Saya ‘Diadili’
Kemarin (10/7) ada juga yang mem-bully dan memprotes saya di Facebook. Ia adalah salah satu pemuja tokoh Islam Liberal, Nurcholish Madjid. Ia mengatakan bahwa buku saya “Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah” pantas dilarang dijual di Gramedia. Ia mendukung pelarangan buku saya itu. Saya kemudian meladeni gugatan dia, tapi kemudian saya hentikan. Karena tidak ada gunanya debat dengan seseorang yang fanatik buta terhadap sebuah tokoh.
Baca: Ketika Buku Saya Dilarang Masuk Toko Gramedia se-Indonesia
Alhamdulillah saya hanya di-bully dan dituduh menyebarkan fitnah. Wartawan-wartawan lain ada yang diajukan ke pengadilan, dipenjara bahkan dibunuh.
Committee to Protect Journalists mencatat sejak 1994 sampai April 2024 setidaknya ada 1.471 jurnalis terbunuh saat menjalankan tugasnya. Dalam kurun waktu sama, Reporters Without Borders mencatat setidaknya ada 1.705 jurnalis dan pekerja media pada 94 negara meninggal dunia saat bekerja.
Selain meninggal, sebagian jurnalis juga masih menjalani penahanan serta tuntutan hukum. Termasuk, mereka yang tengah meliput isu-isu lingkungan hidup. Meliput kasus-kasus pelanggaran serta perusakan lingkungan seperti penggundulan hutan, pertambangan, penggunaan lahan, aktivitas ilegal penjualan satwa liar, polusi, hingga aktivitas penangkapan ikan merupakan aktivitas berbahaya yang dapat meningkatkan risiko bagi jurnalis dan pekerja media.
Kantor Media Pemerintah (GMO) di Gaza, mengatakan bahwa sejak perang Israel-Palestina (2023-2025), wartawan yang terbunuh oleh Israel tercatat 208 orang. (Selain membunuh warga Palestina, Israel juga membunuh sekitar 1400 orang petugas medis).
Sedangkan data internasional dari Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mencatat, sepanjang tahun 2024 sebanyak 516 jurnalis dipenjara, bahkan 122 wartawan dan pekerja media terbunuh termasuk di wilayah konflik Timur Tengah, Gaza.
Pembunuhan kepada wartawan ini sebenarnya tidak boleh terjadi, karena wartawan dilindungi oleh Hukum Pidana Internasional, Konvensi Jenewa 1949, Statuta Roma, Konvensi Den Haag 1907, dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Tapi kita tahu Israel adalah negara yang tidak peduli UU internasional. ‘Puluhan teguran PBB’ kepadanya, tidak dipedulikan.
Di tanah air juga terjadi kekerasan atau pembunuhan kepada wartawan. Misalnya data 2024, ada pembunuhan jurnalis Rico Sempurna yang disertai pembakaran rumah, penganiayaan jurnalis Hary Kabut di NTT, teror bom di kantor redaksi Jubi di Papua, perusakan mobil jurnalis Tempo, sampai tindakan swasensor serta pemaksaan penurunan berita (take down).
Masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa wartawan dilindungi UU dalam menyampaikan informasi. Presiden Habibie mengeluarkan UU No. 20 tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 UU itu dinyatakan: