Riwayat Kompas Anti Islam
Jabatan strategis pimpinan ABRI pun mulai ditanggalkan yang semula di tangan jenderal-jenderal Kristen, seperti Panggabean, Benny Moerdany, Sudomo, diganti jenderal yang Muslim, mulai Feisal Tanjung, R. Hartono, Sjafrie Sjamsoeddin sampai Prabowo Subianto.
Ihwal perubahan politik Soeharto yang pro dan bersahabat dengan Islam ini pun ditandai langkah nyata semakin memperhatikan aspirasi Islam misalnya: melakukan kodifikasi hukum Islam yang menjadi embrio lahirnya UU Peradilan Agama (1989) juga memprakarsai lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dizinkannya Bank Islam dengan meresmikan pembukaan Bank Muamalat di halaman Istana Bogor juga pada 1989. Bahkan kehidupan pribadi keluargo Soeharto yang makin merapat ke Islam ditandai pergi haji seluruh keluarga pada 1990, semua ini membuat kalangan Kristen semakin gundah dan tercermin oleh ungkapan ‘Ijo Loyo-Loyo’ Kompas yang sekaligus menjadi pertanda dimulainya perlawanan sengit kepada rezim Soeharto.
Apalagi sikap Soeharto sejak Pemilu 1992 saat itu semakin jelas yakni semakin menjauhi golongan Kristen yang selalu dipelopori oleh CSIS (Centre for Stategic and International Studies), sebaliknya semakin merapat bersama kelompok Islam. Kompas sejak 1992 itu bagai menabuh genderang perlawanan terhadap rezim Soeharto. Sikap perlawanan itu terus dipupuk dan bermuara pada jatuhnya Soeharto pada Mei 1998. Sikap konsisten Kompas yang sejati adalah selalu berlawanan dengan Islam.
Itulah yang kemudian terjadi pada 1997 lebih 100 tokoh Islam melancarkan gugatan kepada Kompas diprakarsai oleh KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam).
Sejumlah tokoh Islam penggugat Kompas itu di antaranya: M. Amien Rais, M. Syafii Maarif, Deliar Noer, Kuntowidjojo, Afan Ghafar, Kyai Misbach, Prof Daoed Ali guru besar UI, Achmad Sumargono, Kiai Abdul Rasyid AS, Kiai Cholil Ridwan, dan lebih 100 tokoh lainnya.
Gugatan itu dipicu oleh tajuk rencana Kompas, 28 Agustus 1997 dan 2 September 1997, namun hakikatnya gugatan itu ditujukan kepada sikap dan penampilan Kompas yang selalu melecehkan aspirasi Islam dalam berbagai ekspresi yang sangat menghina.
Gugatan kepada Kompas ini pada awalnya dimulai dari protes KISDI atas pemuatan dua tajuk rencana Kompas seperti disebut dimuka berjudul: Kekerasan Membuat Aljazair Runyam, Korban Terus Berjatuhan dan Situasi Aljazair Semakin Kusut Ratusan Orang Dibantai. Dalam tajuk ini sangat tergambar kebencian Kompas seraya memanipulasi adanya kekejian pembantaian di Aljazair yang amat sadistis, di antaranya tertulis dalam tajuk itu, Kompas menuduh pembantaian sadis dilakukan FIS (Front Islamique Du Salute) kutipannya “Berbagai kalangan geram dan marah terhadap tindakan kaum militant FIS yang dinilai tidak berperikemanusiaan, sadis, brutal dan tanpa ampun”.
Kompas jelas memfitnah FIS juga Islam secara keseluruhan, karena dalam peristiwa pembantaian sadis di Aljazair itu oleh media besar Barat sendiri seperti: Washington Post, The New York Time, Newsweek terang-terangan meragukan pelaku pembantaian sadis di Aljazair itu adalah Kelompok Islam FIS. Padahal Kompas sudah memblow-up kekejian itu sebagai dilakukan FIS dan menggambarkan kekejian itu adanya pembantaian orang tua, anak-anak yang dipenggal kepalanya seraya kepala itu dipajang di atas pintu rumah. Bahkan digambarkan kekejaman FIS membantai para wanita hamil yang dirobek perutnya oleh senjata tajam.
Fitnah Kompas ini dilaporkan KISDI ke Menteri Penerangan R. Hartono, sehingga pemberitaan minor itu pun terhenti. KISDI pun segera membentuk TPI (Tim Pembela Islam) yang dipelopori Hartono Mardjono SH dan Bachrun Martosukaro SH yang segera melayangkan somasi terhadap Kompas. Peristiwa ini menjadi berita besar nasional dan berakhir dengan perdamaian antara TPI mewakili 100 tokoh Islam melawan Kompas.
Ketua MUI KH. Hasan Basri pun menjadi saksi perdamaian itu dengan janji-janji pihak Kompas tidak akan mengulangi perbuatannya.
Ternyata janji-janji itu tidak pernah ditepati. Penampilan Kompas yang cenderung melecehkan Islam tetap selalu tampil. Pelecehan jika tidak langsung dilakukan Kompas juga dilakukan oleh media-media yang diterbitkannya. Seperti yang dilakukan harian berbahasa Inggris milik Kompas, The Jakarta Post, memajang illustrasi belum lama ini tentang ISIS yang sangat menghina Islam secara keseluruhan. Sejumlah elemen Islam seperti FPI (Front Pembela Islam) melaporkan ke Polri namun pihak Polri tidak memproses dengan cepat dan fair. Karena itu Kompas semakin berani melecehkan Islam dalam berbagai ekspresi dan dimuat di media online-nya seperti Kompasiana dan sebagainya.