RUU Cipta Kerja Mengancam Dunia Pendidikan
RUU Cipta Kerja, dulu namanya RUU Cipta Lapangan Kerja (CiLaKa) merupakan produk UU dengan sistem Omnibus Law, sapu jagat. Omnibus Law menjadi isu terhangat dalam satu bulan ini. Hastag Omnibus Law pun menempati posisi ketiga trending topic. Kesaktiannya benar-benar menyapu jagat perundang-undangan.
Mirisnya, semua disapu demi memuluskan langkah kapital menguasai negeri kaya SDA dan SDM ini.
Omnibus Law tidak hanya berpotensi merugikan nasib buruh dan merusak lingkungan. Namun juga dunia pendidikan, tak luput dari sapuan omnibus law. Sapuannya dapat berpotensi melanggengkan praktik pemalsuan ijazah, sertifikat dan gelar.
Ada tiga pasal dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dihapus oleh Omnibus Law. Ketiga pasal tersebut adalah 67, 68 dan 69 (tirto.id, 21/02/2020).
Ada empat ayat yang dihapus dari pasal 67. Keempat ayat tersebut berisi ancaman pidana. Pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda satu milyar rupiah bagi perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang menerbitkan ijazah, sertifikat atau gelar tanpa hak.
Nasib yang sama juga terjadi pada empat ayat di pasal 68. Pasal ini berisi tentang ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda 500 juta rupiah. Pidana ini diberikan kepada perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang membantu mengeluarkan dan menggunakan ijazah, sertifikat atau gelar yang tidak sesuai dengan peraturan.
Adapun pasal 69, berisi tentang ancaman pidana yang sama dengan pasal 68. Ancaman ini diberikan kepada pemalsu dan pengguna ijazah, sertifikat, dan gelar palsu.
Ketiga pasal tersebut akan dihapus oleh RUU Cipta Kerja dengan sistem Omnibus Law. Jika demikian, maka tidak akan ada hukuman bagi pembuat dan pengguna ijazah, sertifikat dan gelar palsu. Ini benar-benar ancaman bagi dunia pendidikan.
Setidaknya, akan ada dua kubu ekstrim yang terbentuk di masyarakat. Pertama, jika di masyarakat masih menganggap ijazah, sertifikat dan gelar itu penting. Maka, akan menjamur orang atau organisasi atau lembaga yang menerima jasa pembuatan ijazah, sertifikat dan gelar. Ini akan menjadi ladang bisnis. Karena masyarakat akan rela membayar berapapun demi ijazah. Sebab ijazah masih dianggap sebagai modal mencari uang dan prestise.
Maka, akan timbullah praktik-praktik tidak jujur dan ketidakadilan. Bayangkan, ada yang kuliah bertahun-tahun demi mendapatkan ijazah. Di sisi lain, ada yang hanya bermodal segepok duit, sudah bisa mengantungi ijazah. Lalu, untuk apa penanaman nilai karakter yang ada di sekolah?
Kedua, jika di masyarakat tak lagi menganggap penting pada ijazah, sertifikat, dan gelar. Yang penting bisa kerja, kerja dan kerja demi mendapatkan pundi-pundi rupiah. Maka, lembaga pendidikan akan tutup. Manusia akan semakin buas, laksana binatang. Hukum rimba akan berlaku, siapa yang kuat maka dia akan menang dan berkuasa. Tak perlu pintar, cerdas, dan santun. Mengerikan.
Ini benar-benar akan menjadi musibah di dunia pendidikan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengkritik keras penghapusan pasal UU Sisdiknas oleh RUU Cilaka. Menurutnya, ini akan jadi dosa intelektual dengan menyuburkan praktik pemalsuan ijazah, sertifikat dan gelar (tirto.id, 21/02/20202).
Kritik senada dilontarkan Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim. Menurutnya, penghapusan pasal tersebut menjadi tanda kemunduran dunia pendidikan. Akan muncul kejahatan pendidikan lewat pemalsuan ijazah.
Sekolah sejatinya untuk mendidik dan menanamkan nilai karakter, memanusiakan manusia. Namun dengan penghapusan pasal tersebut, akan menciptakan pekerja yang tak memiliki hati, persis sama dengan robot. Demi mendapatkan pekerjaan maka ia akan menghalalkan segala cara, termasuk memalsukan ijazah.
Hal tersebut wajar terjadi, karena sistem kapitalisme yang mendominasi negeri ini. Sudut pandang kapitalis jua yang menjadi pijakan dalam pembuatan RUU Cilaka. Ideologi kapitalisme hanya mengenal dan menghargai sesuatu yang berwujud materi. Bagi mereka, kesuksesan dan kebahagiaan hanya terletak pada banyaknya harta dan titel kebanggaan berwujud lainnya yang bisa dikumpulkan.
Ideologi kapitalisme tak mengenal nilai spiritual dan moral. Tak masuk di akal para penganut mabda kapitalis, jika ada seorang arsitek yang mendesain masjid tapi tak mau dibayar. Atau ada yang mau mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk memberi makan anak yatim. Aktivitas spiritual dan moral hanya dilakukan jika ada keuntungan materi.
Di ranah pendidikan, menurut kapitalis, sekolah dan kuliah hanya untuk mengejar ijazah dan gelar. Dengan ijazah dan gelar tersebut akan memudahkannya mencari pekerjaan dan mendapatkan materi atau uang. Ujung-ujungnya, proses mendapatkan ijazah itupun dinihilkan dan dipersilakan melakukan praktik curang demi selembar ijazah.
Adapun Islam, sekolah atau kuliah adalah dalam rangka menuntut ilmu. Berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Mujadalah ayat 11: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” Upaya yang dikerahkan ketika sekolah atau kuliah, mendapat nilai pahala di sisi Allah. Yaitu pahala menuntut ilmu.
Mendapatkan ijazah atau gelar bukanlah puncak kebahagiaan seorang muslim. Karena bagi seorang muslim, kebahagiaan tertinggi ada pada ridho Allah. Sehingga ia takkan melakukan praktik-praktik curang hanya demi kesenangan dunia yang sesaat. Membuat dan menggunakan ijazah, sertifikat, dan gelar palsu, demi mendapatkan materi, sama saja mengambil harta lewat jalan yang tak disukai Allah. Jika Allah sudah benci, maka keberkahan hidup di dunia takkan mampu kita reguk.
Cara pandang seperti ini lahir jika sistemnya adalah Islam kaffah. Yang menjamin ketakwaan pada individu, masyarakat sekaligus negara. Wallahu A’lam []
Mahrita Julia Hapsari
Praktisi Pendidikan