Saat Fikih Bertemu Algoritma: Mengapa Kita Masih Butuh Pakar?

Dalam Islam, masalah pengutipan diatur secara jelas, serta memiliki ancaman yang serius. Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’:
مَن يَقُلْ عَلَيَّ ما لَمْ أقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النّارِ
Barang siapa mengatakan atas (nama)ku sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Al-Bukhari).
Alhasil, apabila seseorang sepenuhnya menggantungkan pertanyaan-pertanyaan keagamaannya—terutama yang memerlukan jawaban dari perspektif Islam—kepada AI, maka sejatinya ia tidak memiliki sandaran otoritatif yang jelas atas jawaban tersebut. Lebih jauh lagi, jika jawaban itu kemudian diajarkan atau disampaikan kepada orang lain, ia tidak akan mampu mempertanggungjawabkannya secara ilmiah maupun syar‘i. Padahal, manusia adalah makhluk yang diberi amanah sekaligus rasa tanggung jawab.
Manusia: Makhluk yang Bertanggung Jawab
“Manusia adalah makhluk yang bisa lupa dan berbuat salah, termasuk dalam menjawab dan mengutip. Jadi, apa bedanya AI dengan manusia jika sama-sama dapat berbuat salah?” Demikian pertanyaan yang mungkin muncul di benak pembaca setelah uraian penulis di atas.
Memang betul bahwa manusia berpotensi lupa dan berbuat salah. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam sebuah adagium masyhur:
الانسان محل الخطأ والنسيان
Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
Walaupun begitu ada sikap istimewa yang ada dalam diri manusia yang tidak dimiliki oleh Al, yaitu sikap/rasa tanggung jawab.
Sikap tanggung jawab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Dengan sikap ini, seseorang akan siap memperbaiki kesalahan yang diperbuatnya serta melakukan introspeksi agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Saat menerima kritik dan nasihat atas kekeliruan pemikiran, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan berusaha memperbaiki diri. Demikian pula, ketika menjawab suatu pertanyaan lalu terbukti keliru, ia akan menyadarinya, meralat, serta memperbaikinya.
Sikap tanggung jawab ini tidak dimiliki oleh AI. AI tidak bisa bertanggung jawab laiknya manusia. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas, AI beroperasi berdasarkan algoritma dan data yang telah diprogram oleh manusia. Tanggung jawab atas tindakan AI sepenuhnya berada di tangan manusia. AI adalah sebuah alat, dan seperti halnya sebuah palu tidak bisa disalahkan jika digunakan untuk melukai seseorang, AI pun tidak bisa disalahkan atas tindakan yang dilakukannya.
Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan kesan selama mempelajari AI. Menurut penulis, AI merupakan hasil kreasi akal manusia, yang dapat disebut sebagai “seni rupa”. Sebab, kata AI yang merupakan akronim dari Artificial Intelligence, jika diuraikan, terdiri atas: Artificial = “art” (seni) dan “ficial” (resmi, fisik, rupa). Dengan demikian, AI dapat dipahami sebagai seni yang menggambarkan kemajuan akal manusia hingga mampu “menciptakan” kecerdasan yang menyerupai kecerdasan manusia.
Namun, sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT, tidaklah wajar merasa kagum berlebihan terhadap pencapaian akal manusia itu. Yang sepantasnya dikagumi hanyalah Dia Yang Menciptakan manusia beserta akalnya—Allah SWT. Kesadaran ini akan menambah keyakinan bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah SWT:
وَفِي ٱلۡأَرۡضِ ءَايَٰتٞ لِّلۡمُوقِنِينَ ٢٠ وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٢١
Di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Aż-Żāriyāt [51]: 20-21).
Ṣadaqallāhul’aẓīm. Demikian, wallāhu a’lam.[]
Zuhaili Zulfa, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.