Saatnya Pengelolaan Haji Kembali Menjadi Milik Umat

Setiap musim haji, kita selalu disuguhi kisah-kisah haru dan pilu dari tanah suci. Dari tenda-tenda pengap di Mina, perjalanan penuh desakan dari Arafah ke Muzdalifah, hingga antrean panjang di toilet dan makanan yang tak layak. Semuanya menjadi ironi besar dari ibadah yang seharusnya menjadi puncak ketenangan spiritual umat Islam.
Masalahnya bukan semata pada jumlah jamaah yang banyak. Justru kekurangan itu terletak pada manajemen yang lebih berpihak pada kepentingan komersial ketimbang pelayanan ruhani.
Kota Makkah dan Madinah kini dikepung oleh hotel-hotel mewah milik kapitalis global, sementara jutaan jamaah dari negeri-negeri miskin terpaksa berdesakan di akomodasi yang tak layak. Transportasi dari satu tempat ke tempat lainnya sepenuhnya tergantung pada sistem bus swasta yang tidak efisien, padahal seharusnya sudah dibangun sistem kereta cepat yang terintegrasi khusus untuk jamaah.
Tenda-tenda di Mina dan Arafah seolah tak pernah berubah dari tahun ke tahun—penuh sesak, minim fasilitas, rawan bahaya. Mengapa tidak dibangun gedung bertingkat yang mampu menampung jamaah secara manusiawi, dengan toilet memadai, sistem pendingin, bahkan lift untuk lansia? Dengan teknologi saat ini, semua itu bukan mustahil. Tapi pertanyaannya: apakah ada kemauan?
Inilah yang menjadi kritik besar terhadap pengelolaan ibadah haji hari ini: Arab Saudi memperlakukan tanah suci seolah milik eksklusif mereka, padahal hakikatnya, Makkah dan Madinah adalah milik seluruh umat Islam.
Ka’bah bukan simbol nasional, tapi simbol tauhid dan persatuan. Maka pengelolaannya seharusnya melibatkan seluruh umat Islam sedunia, melalui mekanisme musyawarah, akhlak, dan profesionalisme, bukan sekadar kontrak bisnis dan tender kapitalis.
Bayangkan jika ada asrama haji internasional yang dibangun permanen di sekitar Haramain, dikelola bersama oleh negara-negara Islam, dengan sistem dana wakaf dan kontribusi bersama. Jamaah dari Indonesia bisa tinggal berdampingan dengan jamaah dari Nigeria, Turki, atau Pakistan dalam suasana ukhuwah dan kesederhanaan, tanpa harus bergantung pada hotel bintang lima. Bukankah ini lebih dekat dengan semangat haji?
Sudah saatnya kita menggugah kesadaran umat Islam global untuk merebut kembali pengelolaan haji sebagai amanah kolektif, bukan sebagai monopoli negara tertentu. Bukan untuk mencampuri urusan dalam negeri, tapi untuk mengembalikan ruh pelayanan ibadah kepada fitrahnya: melayani tamu-tamu Allah dengan cinta, keadilan, dan kehormatan.
Dr. Firmanullah Firdaus, S.E., M.Kom