RESONANSI

Sains Islam, Sudah Saatnya!

Gagasan Nasr mengenai sains sakral atau tradisionalisme ini banyak mendapat kritikan dari cendekiawan Islam. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan gagasan perenialisme atau transendentalisme Nasr jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Agama yang diwahyukan adalah Islam sementara agama lain adalah agama budaya, termasuk agama Yahudi dan Kristen. Konsep Nasr tentang level eksoterik dan esoterik juga tidak dapat diterima dalam Islam. Ajaran Islam tidak mengenal ajaran yang memisahkan sisi eksoterik dari esoterik dalam memahami kebenaran agama dengan menggunakan sebuah garis horizontal.

Konsep Tuhan pada level esoteris seperti anggapan kalangan transendentalis, adalah konsep yang keliru. Dalam Islam, mengakui adanya Tuhan saja tidak cukup. Pengakuan terhadap keesaan Allah harus diikuti dengan tunduk terhadap aturan-aturannya, metode-metodenya, jalan dan bentuk penyerahan diri yang diakui-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul-Nya. Jika seseorang mengakui beradaan Tuhan tapi juga mengakui atau berpaling pada “tuhan” yang lain, maka pengakuan itupun tidak ada gunanya. Jika ia tidak mengikuti cara, metode, jalan dan bentuk yang diinginkan-Nya melalui rasul-Nya maka orang tersebut disebut dengan kafir (ingkar), sebagaimana iblis yang mengakui adanya Allah, tetapi ingkar terhadap perintah-Nya. Dalam Al-Qur’an, iblis disebut dengan kafir.

Jadi, meskipun memberikan kritik yang cerdas terhadap “sains Barat”, tetapi solusi “sains sakral” Nasr sulit diterima umat Islam, sehingga tidak patut dikembangkan. Konsep Tradisionalisme Nasr berbeda dengan para ilmuwan muslim yang terus menggulirkan gagasan ”Sains Islam” melalui proses “Islamisasi sains”.

Sudah saatnya!

Kurikulum 2013 yang dikonsep pemerintah menekankan pentingnya standar kompetensi berupa pemahaman dan ketaatan siswa terhadap ajaran agama masing-masing. Undang-undang Pendidikan Nasional (No. 20/2003) dan Undang-undang Pendidikan Tinggi (No. 12/2012) pun secara tegas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk anak didik menjadi menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan sebagainya.

Tujuan Undang-Undang Pendidikan dan kurikulum yang mulia itu hanya bisa diraih jika pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah – termasuk pengajaran Sains – benar-benar bermuatan informasi keilmuan yang mengarahkan anak didik untuk mengenal dan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pengajaran sains, sejatinya, bukan hanya berisi kumpulan fakta dan data empiris. Tapi, sains juga melibatkan manusia yang memiliki cara pandang tertentu terhadap fakta.

Orang Muslim memandang bahwa alam semesta, termasuk dirinya sendiri, adalah “ayat-ayat Allah”. Ia sadar dirinya adalah hamba Allah dan khalifatullah. Manusia yang gagal mengenal Tuhannya, meskipun rajin mengamati fenomena alam, maka akan jatuh martabatnya ke derakat binatang ternak; bahkan lebih hina lagi. (QS 7:179).

Jika ia seorang ilmuwan, tapi tidak mengenal Tuhannya, maka kelasnya setingkat dengan kelas binatang ternak; sekelas babi atau kambing! Ilmuwan semacam ini gagal menemukan dan mengenal Tuhan. Hidupnya laksana binatang ternak: hanya mengejar syahwat demi syahwat; tak kenal kebahagiaan sejati dalam ibadah kepada Sang Pencipta.

Sungguh ironis, jika pelajaran Sains di sekolah-sekolah dan universitas dijauhkan dari Tuhan; dan hanya ditujukan untuk alat eksploitasi alam. Itulah sains ateis, sains sekuler, yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Para ilmuwan yang dihasilkannya tidak mengakui wahyu Allah sebagai sumber ilmu. Mereka hanya mengenal sumber ilmu dari panca indera (ilmu empiris) dan akal (rasional). Akibatnya, mereka tidak semakin dekat (taqarrub) kepada Allah.

Sains sekuler atau Sains ateis seperti itu sangat tidak kondusif untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional yang bertujuan membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Sebaliknya, Sains Islam-lah yang sangat tepat untuk diterapkan di sekolah-sekolah, demi mencapai tujuan pendidikan nasional semacam itu. Ilmuwan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, hanya mungkin terwujud jika ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang benar; ilmu yang membawa manusia kepada ketundukan kepada Allah. Ilmuwan yang menolak Tuhan lebih rendah martabatnya dari Iblis. Sebab, Iblis pun mengakui eksistensi Tuhan, tetapi menolak tunduk dan patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sombong.

Jadi, Sains Islam” sebenarnya adalah jawaban untuk mewujudkan terbentuknya muslim Indonesia yang adil dan beradab; yang mengenal dan mencintai Allah dan Rasul-Nya, cinta pada sesama, dan peduli pada kelestarian lingkungan sebagai amanah dari Allah. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)

Dr. Adian Husaini., Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button