Sanksi AS Soal Pelanggaran HAM terhadap Uighur Bikin China Berang
Jakarta (SI Online) – China sangat menyesalkan RUU sanksi yang ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat atas tindakan keras Beijing terhadap kelompok etnis minoritas Muslim Uighur dan mendesak untuk bekerja sama alih-alih konfrontasi.
“China sangat menyesalkan penandatanganan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2020 oleh AS,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian pada Kamis, sehari setelah pertemuan antara Yang Jiechi, anggota Partai Komunis, dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Hawaii.
“Kami mendesak pihak AS untuk menghormati upaya anti-terorisme dan deradikalisasi China, berhenti menerapkan standar ganda pada isu-isu anti-terorisme dan berhenti menggunakan isu-isu terkait Xinjiang sebagai alasan untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri China,” tegas Zhao.
Dia mengklaim bahwa Yang memberi tahu Pompeo tentang tindakan anti-terorisme dan deradikalisasi yang diambil oleh pemerintah China sesuai dengan hukum dan karenanya situasi keamanan di Xinjiang telah berbalik, dan hak-hak untuk kehidupan, kesehatan dan pembangunan bagi semua kelompok etnis telah dilindungi secara efektif.
Sebelumnya pada Rabu, Presiden AS Donald Trump menandatangani undang-undang yang mendesaknya menjatuhkan sanksi pada pejabat China atas tindakan keras Beijing terhadap kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.
Undang-undang itu menuntut dan meminta pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM seperti penggunaan kamp indoktrinasi secara sistematis, kerja paksa dan pengawasan intrusif untuk menghapus identitas etnis dan kepercayaan agama warga Uighur dan minoritas lainnya di China
China dianggap melakukan kebijakan represif terhadap kelompok Muslim Turki, dan melanggar hak-hak agama, komersial, dan budaya mereka.
Sementara itu, China juga menentang campur tangan AS, serta pernyataan Menteri Luar Negeri G7 tentang hukum keamanan nasional baru Hong Kong.
Undang-undang baru ini akan melarang tindakan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan campur tangan asing dalam urusan kota.
Aktivis khawatir itu akan digunakan untuk menghilangkan perbedaan pendapat di wilayah semi-otonom, yang merupakan bagian dari China sejak 1997.
“Urusan Hong Kong termasuk pembentukan sistem hukum, dan mekanisme penegakan hukum untuk menegakkan keamanan nasional di Hong Kong adalah murni urusan dalam negeri China,” kata Zhao mengutip rekannya, Yang.
“China bertekad bulat dalam memajukan undang-undang keamanan nasional dan mendesak pihak AS untuk menghormati kedaulatan China, memandang undang-undang itu secara objektif dan adil, dan berhenti mencampuri urusan dalam negeri Hong Kong dalam bentuk apa pun,” lanjut dia.
Kongres Rakyat Nasional, badan legislatif China, merancang undang-undang keamanan Hong Kong bulan lalu.
Isu Taiwan juga diangkat selama diskusi yang menekankan bahwa kebijakan “Satu China” adalah fondasi politik hubungan China dan AS.
“Hanya ada satu China di dunia dan Taiwan adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari China,” kata Zhao.
sumber: anadolu