Sarjana Nganggur di Negeri Kaya: Kapitalisme Gagal, Islam Solusinya

Indonesia kembali mencetak “rekor” yang menyedihkan. Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF), negeri ini menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi se-ASEAN pada tahun 2024. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar penganggur adalah mereka yang menyandang gelar sarjana. Gelar yang dulu dianggap sebagai tiket kesuksesan, hari ini tak lebih dari selembar kertas yang tak mampu menjamin masa depan.
Data dari berbagai lembaga juga menunjukkan tren serupa. Lulusan universitas, diploma, hingga sekolah kejuruan terus bertambah setiap tahun, namun lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Banyak yang akhirnya bekerja di luar bidangnya, bahkan tak sedikit yang berakhir menjadi penganggur terselubung.
Ini bukan sekadar masalah “kesalahan memilih jurusan” atau “kurang keterampilan”. Akar persoalan ini jauh lebih dalam: kegagalan sistem kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk dalam hal penciptaan lapangan kerja.
Kapitalisme Biang Pengangguran
Di bawah sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengurus rakyat. Tugas negara sebatas mengatur agar roda ekonomi berjalan, namun siapa yang mendapat manfaat utama? Tentu saja segelintir korporasi dan pemilik modal besar. Negara melepaskan tanggung jawab membuka lapangan kerja dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar melalui skema investasi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi.
Retorika yang sering kita dengar seperti “menciptakan iklim investasi”, “mempermudah perizinan usaha”, dan “mendukung start-up” seolah menawarkan harapan. Namun faktanya, semua itu hanya mempertegas dominasi kepentingan korporasi dalam pengelolaan ekonomi nasional. Lihat saja bagaimana sumber daya alam (SDA) seperti tambang, hutan, dan energi diserahkan kepada perusahaan asing dan swasta besar. Padahal sektor inilah yang seharusnya bisa menyerap jutaan tenaga kerja lokal bila dikelola negara untuk rakyat.
Tak berhenti di situ, sektor pendidikan pun dikomodifikasi. Lembaga pendidikan didorong menghasilkan lulusan yang “siap pakai” untuk kebutuhan industri, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Akibatnya, para sarjana tak ubahnya komoditas yang diproduksi massal, tapi tersisih karena tidak “kompetitif” di pasar kerja yang sempit. Ijazah tak lagi jadi jaminan, sementara rakyat diminta terus beradaptasi dan bersaing satu sama lain dalam sistem yang cacat dari akarnya.
Lebih parah lagi, sektor strategis seperti industri nasional tidak diberdayakan maksimal. Pemerintah lebih fokus mengundang investor asing ketimbang membangun kemandirian industri. Akibatnya, alih-alih menyerap tenaga kerja dalam negeri secara luas, kita malah hanya menjadi pasar bagi produk-produk asing.
Dalam sistem kapitalisme, tak ada jaminan kerja sebagai hak rakyat. Negara membiarkan rakyat berjuang sendiri di tengah ketimpangan ekonomi yang tajam. Maka tak heran jika pengangguran terus meningkat dan kesenjangan sosial makin menganga.
Islam Punya Solusi Sistemik
Islam, sebagai sebuah ideologi yang sempurna, tidak hanya mengatur aspek spiritual, tetapi juga ekonomi, politik, pendidikan, dan seluruh dimensi kehidupan. Dalam sistem Islam, negara adalah ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi umat. Ini bukan slogan, tetapi mandat syariat yang harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan sistem nyata.
Dalam bidang ekonomi, Islam menetapkan bahwa sumber daya alam seperti tambang, air, dan energi adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah). Negara tidak boleh menyerahkannya kepada individu atau swasta untuk dimonopoli, apalagi asing. Khilafah, sebagai bentuk pemerintahan Islam, akan mengambil alih pengelolaan sumber daya ini, dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan umat secara langsung, termasuk untuk pembukaan lapangan kerja di berbagai sektor strategis.
Negara Islam juga tidak akan menggantungkan diri pada investor asing. Sebaliknya, Khilafah akan membangun industri mandiri yang berbasis pada kekuatan sumber daya lokal dan kebutuhan umat, bukan pada permintaan pasar global. Pembangunan dilakukan dengan orientasi maslahat, bukan laba.
Lebih dari itu, sistem pendidikan Islam akan membentuk manusia yang berkepribadian Islam dan memiliki keahlian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan bukan semata untuk mencetak tenaga kerja korporasi, tapi untuk menyiapkan generasi yang siap membangun peradaban. Negara akan memfasilitasi setiap individu agar bisa bekerja dan berkarya, karena bekerja dalam Islam adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab sosial.