Satu (Indonesia) untuk Semua, Semua untuk satu (Indonesia)
Terjadi pembelotan Nasdem dan Surya Paloh, kemunculan Anies Baswedan yang direshufel Kabinet, bergabung oposisi PKS dan PKB yang bangkit dan hengkang dari Gerindra. Jadilah, partai KPP dan paslon Amin tak gentar melawan!
Maka, jelang mendekati transisi demokrasi di Pilpres 2024 tak usah heran munculah banyak keanehan, keberpuraan dan dramaturgi serta sinetronisasi politik yang dicirikan oleh rezim yang berambisi tetap berkuasa, alias incumbent ini. Apa bentuknya?
Semenjak lima tahun belakangan sengaja banyak terlahirlah politik holopis dan koncois dengan pemberian dan atau bagi-bagi jabatan di BUMN, struktur pemerintahan, ASN, TNI/Polri dan Kabinet.
Yang sesungguhnya hanya merugikan negara bak menabur pupuk bagi suburnya jamur korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sampai demi kepentingan perpanjangan tiga periode itu semakin tampak kentara pula dijalankannya politik boneka, kroni dan koloninya melalui seluruh partai koalisi pendukungnya. Bahkan, keterlibatan lembaga dan komisi tinggi negara.
Dan di titik terakhir, betapa sudah tanpa malu-malu, tak patut, tak sopan, dan tak panut, si “Raja Tega” pun menyingkirkan induk semangnya, PDIP yang kenapa begitu memilukannya. Atau entahlah, itu masih bagian lain dramaturgi kesinetronan lagi?
Apalagi, begitu tak peduli dan sangat berani bernyali konstitusi hukum itu dilanggar dan ditabrak.
Memaksakan kehendak berkuasa turunannya, dicangkok Gibran yang tak cukup umur. Kaesang dikarbit di PSI. Anwar Usman tak dicabut keanggotaan hakimnya di MK meski diberhentikan jabatan Ketua. Bobby Nasution hengkang dari PDIP dipromosi jabatan Gubernur Sumut.
Jadilah meraksasa kerajaan politik dinasti Jokowi.
Lantas, apakah motif alasan atas segala kebobrokan perikehidupan kenegaraan ini dilakukan oleh dinasti Jokowi beserta kroni-kroninya?
Juga paslon Prabowo-Gibran?
Dengan euphimisme diplomasi demi kepentingan pembangunan berkelanjutan, sesungguhnya di belakangnya tiada lain dan tiada bukan, adalah kepentingan keserakahan dan kerakusan materialisme, “vested interested” dan politik transaksionalisme.
Siapakah gerangan pengendalinya mereka?