NASIONAL

Satu Tahun Tragedi KM 50, TP3: Tegakkan Hukum, Adili Pelaku Pelanggaran HAM Berat

“Persidangan tersebut semakin menunjukkan bahwa pembunuhan enam pengawal HRS adalah peristiwa yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan aparat negara di yang berada di bawah kendali kekuasaan rezim,” ungkap Abdullah.

Menurutnya, persidangan di PN Jakarta Selatan atas nama terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella justru dijadikan forum dan wahana untuk membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan aparat negara terhadap enam pengawal HRS.

“Peradilan di PN Jakarta Selatan ini berlangsung tanpa adanya bukti saksi. Semua saksi-saksi yang dihadirkan adalah justru saksi-saksi a de charge (saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa) dan saksi-saksi yang membela Pelanggar HAM Berat,” tutur Abdullah.

TP3 sendiir, kata dia, telah mewawancarai enam pengawal HRS yang selamat dari upaya pembunuhan di KM 50. Menurutnya, kesaksian mereka membuktikan benar telah terjadi pelangaran HAM Berat karena dilakukan secara terencana dan sistimatis melibatkan kekuatan aparat negara yang bersenjata.

“Kesaksian enam pengawal HRS yang selamat ini tidak mungkin bisa diajukan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena memang tidak dikehendaki rezim. Mereka hanya mungkin bersaksi di Pengadilan HAM. Namun setelah setahun berlalu, langkah awal untuk bergulirnya Pengadilan HAM tidak pernah bisa terlaksana karena Komnas HAM tidak pernah melakukan Penyelikan atas dasar UU No.26 Tahun 2000,” jelas Abdullah.

“Perlu kami ingatkan bahwa TP3 adalah Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan enam pengawal HRS. Jadi fungsi lembaga ad hoc ini adalah mengawal proses penanganan pembunuhan enam pengawal HRS dimulai dari penyelidikan, penyidikan, pengadilan sampai putusan hakim. TP3 berkewajiban untuk mengawasi proses penanganan tersebut agar bersifat terbuka, jujur, dan berjiwa besar sesuai dengan UUD 1945, UU No. 26 Tahun 2000 dan peraturan terkait yang berlaku,” tambahnya.

Ia menjelaskan, TP3 atas nama keluarga korban dan menyerap aspirasi masyrakat berkeadaban menggunakan hak-hak sipilnya dalam mengawal proses penanganan kasus pembunuhan sadis ini. Sebab, pemilik republik ini adalah rakyat, sehingga setiap saat mengawal mereka yang diberi mandat untuk mengelola manajemen pemerintahan termasuk aspek penegakan hukum.

TP3 dalam pengawalannya meyakini telah terjadi intervensi yang tidak fair terhadap Komnas HAM dari pihak tertentu yang saat ini berkuasa, agar pembunuhan tak beradab tersebut tidak terkategori sebagai pelanggaran HAM berat.

“Hasilnya, terbitlah laporan sarat rekayasa oleh Komnas HAM, diberi judul Laporan Hasil Penyelidikan, yang pada dasarnya hanyalah Laporan Hasil Pemantauan! Dalam hal ini Komnas HAM telah mengkhianati rakyat yang mendukung keberadaannya, sekaligus mengkhianati amanat reformasi,” ungkap Abdullah.

Menurutnya, perkara pembunuhan atas enam pengawal HRS hanya bisa tuntas secara adil dan beradab bila diselesaikan Pengadilan HAM yang digelar sesuai UU No. 26 Tahun 2000.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button