INTERNASIONAL

‘Saya Bisa Mati Kelaparan Sebelum Lulus di Gaza’

Satu-satunya impian saya adalah mengikuti ujian tawjihi agar saya bisa melanjutkan pendidikan. Apakah ini terlalu berlebihan untuk diminta?

Namun lebih dari sekadar aspek akademik, tawjihi memiliki makna budaya dan emosional yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar fase pendidikan — ia adalah bagian dari identitas kami, simbol keteguhan kami. Di tempat di mana pendudukan menutup hampir semua pintu, pendidikan tetap bisa membuka beberapa.

Itulah sebabnya kami merayakannya seperti hari raya nasional; hari pengumuman hasil tawjihi terasa seperti Idulfitri ketiga bagi warga Palestina. Ia memberi harapan bagi keluarga, kebanggaan bagi lingkungan, dan menjaga impian akan masa depan yang lebih baik tetap hidup.

Selama berbulan-bulan saya menunggu tawjihi, saya tetap menggenggam mimpi untuk belajar kedokteran di universitas bergengsi di luar negeri. Saya terus mendaftar beasiswa dan mengirim email ke berbagai universitas di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa, berharap mendapat pertimbangan khusus sebagai pelajar yang terdampak perang. Saya memohon agar syarat ijazah tawjihi bisa ditiadakan.

Tapi jawabannya selalu sama dan menyakitkan: “Sayangnya, kami tidak bisa memproses aplikasi Anda tanpa dokumen ijazah akhir.”

Hari ini, keputusasaan dan ketidakberdayaan bukan satu-satunya tamu tak diundang. Rasa lapar kini ikut hadir. Kelaparan telah menghancurkan bukan hanya tubuh saya, tetapi juga kesehatan mental saya.

Sebagian besar hari, kami hanya bisa makan sekali. Kami bertahan hidup dengan kacang kalengan, roti kering, atau nasi tanpa sayur dan tanpa protein. Tubuh kami lemah, wajah kami pucat, dan energi hampir habis. Dampaknya tidak hanya fisik. Kelaparan membuat otak menjadi kabur, daya ingat menurun, dan semangat hilang. Hampir mustahil untuk fokus, apalagi belajar untuk ujian sepenting tawjihi. Bagaimana saya bisa bersiap menghadapi ujian terpenting dalam hidup saya ketika perut kosong dan pikiran diselimuti lelah serta cemas?

Rasanya masa muda saya telah dicuri di depan mata, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikannya. Sementara teman-teman sebaya saya di seluruh dunia sedang membangun masa depan, saya tetap terjebak dalam tempat penuh rasa sakit dan kehilangan.

Sebagai siswa tawjihi yang terperangkap di zona perang, saya menyerukan dengan mendesak kepada otoritas pendidikan dan lembaga internasional untuk segera turun tangan dan mencari solusi agar hak kami atas pendidikan tidak terkubur di bawah reruntuhan perang.

Kami tidak meminta banyak. Memberi kami kesempatan menyelesaikan pendidikan menengah di Gaza bukan hanya soal logistik, tetapi soal keadilan dan kelangsungan hidup di masa depan. []

Nuim Hidayat
Sumber: Al Jazeera

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button