INTERNASIONAL

“Saya Sedang Berlatih Menyembuhkan Mata di Gaza, Lalu Semuanya Menjadi Gelap”

Mereka membom ruang kelas kami, bangsal kami, bahkan pasien kami – tetapi saya menolak berhenti merawat yang terluka.

Ada pula seorang kakek yang menderita kanker mata. Penyakit itu terus menggerogoti matanya, dan sangat mungkin menyebar ke mata sebelah. Tapi kami tidak bisa membantunya. Tidak ada peralatan, dan ia tak bisa pergi berobat karena perbatasan ditutup. Di setiap kunjungannya, saya selalu berusaha menghiburnya, berharap setidaknya saya bisa sedikit meringankan deritanya.

Anak-anak kebanyakan mengalami konjungtivitis kronis dan munculnya chalazion (benjolan lemak di kelopak mata), akibat debu, menyentuh mata dengan tangan kotor, dan kurangnya kebersihan di kamp pengungsian.

Lansia, yang sebagian besar menderita katarak – kondisi yang menyebabkan penurunan penglihatan secara bertahap – membutuhkan operasi pengangkatan lensa dan pemasangan lensa buatan. Namun semua operasi itu ditunda karena komunikasi dengan Gaza utara terputus – satu-satunya tempat di Gaza yang memiliki peralatan lengkap.

Bulan-bulan itu, ruang operasi menjadi laboratorium nyata bagi saya setelah laboratorium kampus dihancurkan. Saya menemani dokter di setiap operasi, dilakukan dalam cahaya harapan dan diiringi suara bom. Pernah, sebuah roket menghantam rumah di sebelah pusat kesehatan saat kami sedang di ruang operasi. Meski panik, kami tetap tegar. Kami tidak runtuh. Sebaliknya, kami berhasil menyelesaikan operasi.

Di sela-sela waktu luang yang langka, kami tidak hanya bicara tentang dunia medis. Kami bicara tentang rasa sakit, tentang rumah yang hilang, kerabat yang tak diketahui nasibnya, impian yang tertunda. Suara perang bergema dari setiap sudut klinik.

Kami menghadapi kesulitan berat karena kekurangan obat. Kami terpaksa meresepkan alternatif yang efek sampingnya belum sepenuhnya kami ketahui, tapi apalagi yang bisa kami lakukan? Tak ada pilihan lain. Perbatasan ditutup, dan obat-obatan tidak tersedia.

Suatu hari, saat operasi berlangsung, saya merasa pusing dan nyeri dada hebat. Saya tak sanggup menahan, dan pingsan karena kelelahan, kekurangan gizi, dan tekanan psikologis. Saya hanya seorang manusia yang mencoba bertahan. Tapi saya tidak menyerah. Saya kembali hari itu juga untuk melanjutkan pekerjaan di klinik.

Januari 2025, saat diumumkan gencatan senjata sementara, universitas kembali membuka kelas di Rumah Sakit Eropa. Saya hanya bisa hadir empat kali. Perjalanan jauh, tempatnya sunyi, penuh reruntuhan perang. Hanya satu kilometer dari jendela klinik, tank-tank ditempatkan. Saya bertanya-tanya: Haruskah saya lari atau tetap di sini? Gencatan senjata bukan jaminan. Dan benar saja, tak lama setelah itu perang kembali pecah dan kelas dibatalkan setelah wilayah itu diduduki.

Kami kembali ke titik nol.

Saya masih di sini, berpindah dari satu pusat kesehatan ke yang lain, menyembuhkan, mendengarkan, dan mencoba mengembalikan cahaya ke mata manusia – secara harfiah. Tujuan saya belum padam. Semangat saya belum patah. Saya diciptakan untuk membantu. Dan saya akan terus melangkah, meski di tengah asap dan reruntuhan, dengan tangan yang mantap dan hati yang tak tergoyahkan, hingga cahaya kembali menyinari kita semua. []

Nuim Hidayat
Sumber: AL JAZEERA

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button