Saya Selamat dari Genosida Gaza, Hanya Untuk Menyaksikan Langsung Keterlibatan Barat
Saya dievakuasi ke Prancis, di mana saya melihat alasan mengapa dunia membiarkan rakyat saya dibantai.

Truk bantuan dihalangi. Pabrik desalinasi air dibom. Lebih dari dua juta orang mengungsi. Dan tetap saja, dunia diam.
Para ahli PBB, semua organisasi hak asasi manusia internasional besar, ribuan sarjana hukum dan akademisi, bahkan mantan pejabat Israel sendiri menyatakan bahwa perang ini telah melanggar semua batas hukum internasional.
Namun di sini, di Prancis, kami diberitahu untuk merendahkan suara. Kami diberitahu bahwa berteriak “Bebaskan Palestina” bisa jadi dianggap anti-Semit. Orang-orang yang mengibarkan bendera Ukraina dengan bangga berkata bahwa duka kami harus “seimbang”. Mereka marah terhadap imperialisme Rusia, tapi membenarkan kolonialisme pemukim Israel. Itu bukan netralitas. Itu supremasi kulit putih.
Gaza telah menjadi pengecualian moral mereka. Titik buta mereka. Yang dianggap bisa dikorbankan. Berita yang setiap ruang redaksi berusaha hindari.
Tapi inilah kebenarannya: Palestina tidak punya tentara, tidak punya jet tempur, tidak punya kapal, tidak punya senjata nuklir. Yang kami punya adalah perlawanan. Hamas bukanlah tentara negara. Ia adalah hasil dari puluhan tahun pengepungan, pendudukan, apartheid, dan pengabaian. Dan sementara para pemimpin Eropa bergegas mengutuk Hamas setiap ada kesempatan, mereka menolak mengutuk pendudukan yang melahirkannya. Mereka menghapus hak kami untuk melawan, sambil mengagungkan perlawanan Ukraina, memberinya senjata dan pujian.
Di Ukraina, koktail Molotov disebut “kepahlawanan”. Di Gaza, batu disebut “terorisme”. Itulah kemunafikan. Itulah algoritma empati kulit putih.
Apa yang terjadi di Gaza bukanlah perang antara dua tentara. Itu adalah penghancuran total sebuah bangsa yang diduduki oleh salah satu tentara tercanggih di dunia. Itu adalah genosida yang dibantu senjata Barat, dilindungi diamnya Barat, dan dipoles oleh kebohongan kemanusiaan.
Prancis ingin berpura-pura keterlibatannya hanyalah sejarah, berakhir dengan berakhirnya kolonialisme formal. Tapi bagaimana menjelaskan senjata? Kekebalan diplomatik? Penolakan untuk mematuhi surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu? Larangan protes pro-Palestina di Paris? Pengawasan terhadap mahasiswa Muslim?
Saya meninggalkan Gaza dalam evakuasi yang dikawal PBB, diatur konsulat Prancis di Yerusalem, nama saya terpilih di antara ribuan. Saya tidak diizinkan membawa apa pun. Tidak laptop. Tidak buku. Tidak kenangan. Hanya pakaian di badan dan ponsel di tangan.
Saya melewati pos pemeriksaan Israel, di mana tentara memandang saya seolah saya bukan manusia. Empat jam menyeberangi gurun terasa seperti empat dekade. Dan kini saya di sini, berjalan di boulevard kota yang mengaku mencintai kebebasan, sementara rakyat saya mati karena berani menginginkannya.
Jangan bilang ini hanya politik. Ini adalah rasisme. Ini adalah kemunafikan. Genosida rakyat saya sedang disaksikan dari balkon-balkon yang dihiasi bendera Ukraina.
Saya tidak menginginkan belas kasihan. Saya menginginkan akuntabilitas. Saya menginginkan keadilan. Saya ingin melihat bendera Palestina berkibar berdampingan dengan bendera Ukraina, bukan sebagai saingan, tapi sebagai kebenaran. Karena jika solidaritas bergantung pada warna kulit, batas negara, atau kepentingan geopolitik, itu bukan solidaritas. Itu supremasi. []
Sumber: AL JAZEERA