NUIM HIDAYAT

Seandainya Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin Bersatu

Saya tertarik untuk mengambilnya, meski tidak tahu nanti dana kuliah dapat dari mana. Saya bertekad kuliah kali ini akan serius dan bertekad untuk memperbaiki nilai kuliah saya di IPB yang ‘hancur-hancuran.’ Saya ragu saat itu, apakah nilai saya yang buruk waktu S1 itu akan diterima di S2.

Alhamdulillah akhirnya saya diterima di UI. Saya diterima di Jurusan Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah. Saya kuliah serius dan sering membuat makalah atau tulisan tentang politik. Beberapa kali artikel saya dimuat di Koran Republika, koran Islam yang sangat bergengsi saat itu. Artikel saya ‘Teroris dan Islam Militan’ mendapat simpati dari mantan Kepala BIN, Zain Maulani. Ia mengajak bertemu saya, lewat Fauzan Anshari, sayang saat itu saya tidak dapat menemuinya. Sampai sekarang ‘saya menyesal’, mengapa dulu tidak menemuinya. Saya beberapa kali bertemu rombongan beberapa kali dengan Zain, tapi secara pribadi belum pernah.

Di UI itulah saya mulai mengenal Ikhwanul Muslimin lebih mendalam. Waktu di IPB, sebenarnya saya sudah mengenal Ikhwanul Muslimin, yaitu lewat buku yang Hasan al Bana, Zainab al Ghazali dan lain-lain.

Hasan al Bana bagi saya adalah tokoh yang mengagumkan. Sejak remaja ia sudah menunjukkan bakat kepemimpinannya. Waktu remaja ia sudah terlibat dalam kegiatan amar makruf nahi mungkar di Mesir sana. Saleh, cerdas, hafal Al-Qur’an dan pemahaman keislamannya luas.

Pidato-pidatonya menggetarkan. Bila ia ceramah, yang hadir bisa ribuan orang. Bukan hanya masyarakat awam yang datang, tapi para ulama juga tertarik mengikutinya.

Maka ketika ia dengan kawan-kawannya membentuk gerakan Ikhwanul Muslimin (1928), masyarakat Mesir berbondong-bondong mengikutinya. Saat itu banyak cabang Ikhwan di Mesir. (Hizbut Tahrir baru dibentuk Taqiyuddin an Nabhani 1953, setelah meninggalnya Imam Hasan al Bana 1949).

Ikhwan memang dalam pembinaannya bertumpu pada Al-Qur’an. Dalam pengajian-pengajian mereka selalu diawali dengan pembacaan Al-Qur’an. Kecintaan kepada Al-Qur’an ditumbuhkan sejak awal. Bagi Hasan al Bana, Al-Qur’an adalah solusi mengatasi problematika kehidupan manusia.

Pengaruh Hasan al Bana sangat besar saat itu dalam kehidupan politik di Mesir. Pemimpin Ikhwanul Muslimin ini juga mengirimkan pasukannya untuk berjihad di Palestina saat itu.

Pendiri Ikhwanul Muslimin ini menekankan 10 prinsip yang harus dimiliki kader, yaitu:

  1. Al Fahm

Rukun pertama. Dimulai dari Fahm. Pemahaman. Kenapa bermula dari sini? Prioritas. Ilmu mendahului perkataan dan perbuatan. Kenapa tidak diungkapkan dengan ilmu? Karena paham adalah tujuan dari ilmu (Yusuf Al-Qardawi). Ilmu sesungguhnya bukan dengan banyaknya hafalan tetapi dalamnya pemahaman. Skema pemahaman dasar yang diinginkan dimiliki oleh ikhwan disebutkan dalam Ushul ‘Isyrin (Dua puluh prinsip pemahaman Islam Ikhwanul Muslimun). Paham adalah prinsip pengetahuan. Memahami agama Islam dengan benar dan komprehensif.

  1. Al Ikhlas

Prinsip motivasi. Motivasi internal yang memberi energi untuk selalu bekerja. Ikhlas karena Allah dalam beramal untuk agama.

  1. Al ‘Amal

Buah dari fahm dan ikhlas. Tertib amal dari memperbaiki pribadi sampai dengan menjadi guru peradaban. Tertib amal ini terbagi menjadi amal individu (fardi) dan amal kolektif (kolektif). Dalam rukun ini tertib amal yang disebutkan merupakan refleksi cita-cita besar Ikhwan. Mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari. Beramal demi agama ini dengan memperbaiki diri sendiri, rumah tangga Muslim, masyarakat, pemerintahan dan seterusnya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button