Selain Kesehatan, Pemerintah Harus Prioritaskan Sektor Pangan
FAO (Food and Agriculture Organization) pada April lalu memperingatkan adanya ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Krisis pangan harus disikapi serius. Kebijakan pembatasan sosial, meski di satu sisi berhasil menekan penyebaran virus, tapi di sisi lain ikut memukul produksi dan distribusi pangan secara global.
Sejumlah negara yang selama ini dikenal sebagai produsen pangan, seperti Thailand dan Vietnam, dengan alasan melindungi kebutuhan dalam negeri kini mulai melakukan pembatasan ekspor. Akibatnya, jumlah pangan yang diperdagangkan di pasar duniapun volumenya terus menurun. Dari total produksi beras dunia, misalnya, kini hanya tinggal 5 persen saja yang diperdagangkan di pasar internasional. Inilah yang bisa disebut gejala “deglobalisasi” akibat pandemi.
Gejala deglobalisasi semacam itu, bagi negara yang memiliki ketergantungan sangat besar terhadap impor pangan seperti Indonesia, tentu bisa berakibat mengerikan jika tak diantisipasi dengan baik. Kita bisa terancam gelombang kelaparan, juga telah diingatkan World Food Programme (WFD). Menurut WFD, sesudah lebih dari 300 ribu nyawa melayang akibat serangan virus Corona sejauh ini, ancaman yang mengintai kita berikutnya adalah ancaman kelaparan.
Peringatan-peringatan tersebut tentunya perlu kita waspadai. Apalagi, sejak sebelum pandemi ini muncul, Indonesia telah tergolong sebagai negara dengan indeks kelaparan serius. Tahun 2019 saja, artinya sebelum muncul pandemi, menurut data International Food Policy Research Institute (IFPRI), masih terdapat 22 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan kronis. Dalam soal kelaparan, merujuk pada Global Hunger Index (GHI) 2019, Indonesia berada di posisi 70 dari 117 negara. Posisi yang tergolong buruk.
Peringatan mengenai ancaman krisis pangan tadi telah ditanggapi oleh Presiden dengan memerintahkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pemerintah daerah, serta Kementerian Pertanian untuk secara keroyokan mencetak sawah baru. Obyeknya adalah 900 ribu hektar lahan gambut yang ada di Kalimantan Tengah.
Sayangnya, perintah cetak sawah baru di lahan gambut bukanlah respon yang kita harapkan. Dengan agenda itu, berarti Pemerintah tak konsisten dengan agendanya sendiri untuk merestorasi lahan gambut seperti dicanangkan pada 2016.
Pernyataan Presiden yang akan mencetak sawah besar-besaran juga tak konsisten dengan pemangkasan anggaran cetak sawah yang dilakukan Pemerintah sendiri. Sebagai informasi, untuk menangani dampak Covid-19, Pemerintah sebelumnya telah memangkas anggaran cetak sawah baru dari semula Rp209,8 miliar menjadi tinggal Rp10,8 miliar saja.
Bagaimana mau mencetak sawah, kalau anggarannya telah dipangkas? Kalau cetak sawah baru dianggap penting, kenapa kemarin anggarannya justru dipangkas? Ini tak konsisten dan tak ada koordinasi.
Di luar soal anggaran, saya melihat program cetak sawah sekarang ini tak akan efektif. Cetak sawah bukanlah jawaban atas krisis pangan yang sudah di depan mata.
Ketimbang memboroskan anggaran semacam itu, dengan risiko kegagalan yang sudah di depan mata, sebaiknya Pemerintah menggunakan anggaran yang ada untuk mensubsidi petani. Adanya stimulus dan insentif ekonomi ini akan menambah kegairahan petani dalam berproduksi.
Untuk merangsang peningkatan produksi pangan, Pemerintah sebenarnya bisa memulainya dengan menaikan insentif ekonomi bagi para petani, termasuk meningkatkan investasi di sektor pertanian. Sayangnya, kita belum melihat itu dalam politik anggaran Pemerintah.
Dengan bekal Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19, Pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani pandemi dan krisis yang ditimbulkannya. Namun, kita tidak melihat alokasi anggaran tersebut di bidang pangan.
Kita memang mendengar Pemerintah akan memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi 2,4 juta petani miskin sebesar Rp600 ribu. Itupun, uang tunai yang akan diterima oleh petani hanya Rp300 ribu, karena sisanya akan diberikan dalam bentuk Saprotan (Sarana Produksi Pertanian). Jika ditotal, rencana BLT untuk petani ini hanya bernilai Rp1,4 triliun. Menurut saya, jumlah tersebut sangat tak memadai, dan juga tidak adil. Bandingkanlah anggaran BLT untuk petani itu dengan anggaran yang dialokasikan untuk 8 industri start up yang terlibat sebagai mitra program Kartu Prakerja, yang nilainya mencapai Rp5,6 triliun. Menurut saya, itu tidak pantas.
Sebagaimana pernah diingatkan oleh ADB (Asia Development Bank), untuk mengatasi krisis pangan dan kelaparan, Indonesia seharusnya mendorong peningkatan investasi dalam bidang ketahanan pangan dan perdesaan. Tujuannya adalah untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan, serta meningkatkan efisiensi pasar pangan.
Kita perlu menyadari ketersediaan pangan rakyat Indonesia selama ini disokong oleh 26,125 juta rumah tangga petani (RTP). Sehingga, mereka sangat pantas diprioritaskan dalam pemberian bantuan dan stimulus ekonomi, bukannya industri start up, atau sektor tersier lainnya.
Demikianlah suara HKTI terkait ancaman krisis pangan di tengah pandemi.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Ketua Umum DPN HKTI, Anggota DPR RI