Selayang Pandang Ekstradisi Hongkong
Demo besar-besaran protes berskala masif di Victoria Park hingga jalan-jalan utama selama 10 hari terakhir ini, berakhir setelah Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam meminta maaf untuk kedua kalinya pada Selasa, 18 Juni 2019. Ia mengatakan telah mendengar warganya dengan keras dan jelas, khususnya terkait RUU ekstradisi (liputan6.com, 19/6/2019).
Ia menyebut, jika rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi dengan Hongkong tidak segera disahkan oleh dewan legislatif pada Juli tahun depan, maka rencana amandemen itu akan berakhir. Tanpa menyebut dirinya berniat mencabut peraturan yang dimaksud. Juga tidak ada pertanda bahwa ia akan turun dari posisinya sebagai Pemimpin Eksekutif Hong Kong.
Demo berhari-hari tersebut diperkirakan diikuti 1 juta warga. Di minggu kedua, 2 juta. Akan tetapi kepolisian Hong Kong memperkirakan jumlahnya sekitar 240 ribu orang. Perbedaan angka yang cukup signifikan ini bukan persoalan utamanya. Intinya adalah resistensi warga terhadap jalur legal yang memungkinkan individu di antara mereka dikirim ke China ketika menghadapi kasus hukum.
Walau Hong Kong masih menjadi bagian dari China, tapi secara hukum, pulau tersebut cukup otonom dengan memiliki undang-undang, hakim dan pengadilannya sendiri. Ini karena China dan Hong Kong mengadopsi “one country, two systems” yang konsekuensinya adalah keduanya memiliki perbedaan dalam hal legislasi.(Idntimes, 13/6/2019)
Hong Kong sebagai wilayah bekas koloni Inggris ini, menikmati ideologi kebebasan yang diusung penjajahnya. Negeri kepulauan dengan status otonomi khusus di bawah Republik Rakyat China (RRC) itu kemudian bergejolak, setelah dewan legislatif bersidang ingin mengesahkan RUU ekstradisi dengan China. Warga Hongkong tidak percaya dengan ideologi China.
Sejak dikembalikan oleh Inggris pada tahun 1997, Hong Kong diizinkan menjalankan pemerintahan sendiri selama 50 tahun. Itu artinya, baru pada 2047 Hong Kong bisa benar-benar 100 persen di bawah sistem politik dan hukum RRC. Saat ini masih berlaku perbedaan ideologi di antara keduanya. China dengan sosialimenya dan Hong Kong dengan liberalismenya.
Perbedaan ideologi dalam satu negara terlihat seperti sebuah keniscayaan. Akan tetapi hal tersebut hanya terjadi di atas kertas. China dengan segala kedigdayaannya, berusaha menundukkan demokrasi yang diemban Hong kong. Walaupun sesungguhnya negeri tersebut tidak mampu menguasai sebuah wilayah yang besar.
Ideologi sosialisme yang diemban China hanya bersifat regional. Mereka hanya memiliki ambisi untuk menguasai ekonomi, bukan pemikiran. Terbukti sosialisme bertentangan dengan fitrah manusia, maka sedikit sekali manusia yang mau mengemban ideologi ini. Kalaupun ada, itu karena dipaksakan. Yaitu, di bawah tekanan tangan besi penguasanya.
Hingga akhirnya RUU ekstradisi ini pun disinyalir warga sebagai bentuk ‘komunikasi’ sosialisme China terhadap Hong Kong. Maka serta merta berbagai elemen masyarakat rela cuti kerja untuk turun ke jalan, sebab mereka merasa China berusaha menjamah kebebasan Hong Kong.