Self-Love dalam Syariat: Antara Ekspresi Diri dan Tanggung Jawab Agama
Dalam beberapa tahun terakhir, tren self-love semakin populer di kalangan anak muda. Self-love dianggap sebagai bentuk penerimaan diri yang utuh dan cara untuk menghargai diri sendiri tanpa mengkhawatirkan penilaian orang lain.
Banyak anak muda merasa bahwa konsep ini memberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri secara autentik, menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri, dan mengutamakan kesejahteraan mental dan emosional.
Namun, dalam praktiknya, konsep self-love ini sering kali disalahpahami sebagai kebebasan penuh, seakan-akan setiap pilihan bisa dibenarkan asalkan membawa rasa bahagia dan puas pada diri sendiri. Akibatnya, sebagian orang merasa berhak untuk melanggar batasan-batasan nilai agama dan syariat demi alasan “cinta diri.”
Padahal, dalam Islam, mencintai diri bukan hanya tentang kebebasan, tetapi juga tentang tanggung jawab untuk menjaga kehormatan diri, taat pada aturan agama, dan menempatkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan.
Sebagai contoh, setelah keluar dari pesantren, seorang kawan perempuan saya mengalami perubahan yang sangat drastis dalam cara berpakaian dan gaya hidup. Dahulu ketika masih di pesantren, ia selalu mengenakan pakaian panjang dan tertutup sesuai ajaran yang dipelajarinya di pesantren, namun kini ia cenderung berpakaian lebih terbuka, mengikuti tren fashion terbaru dengan gaya yang lebih bebas. Ia juga tampak sangat antusias mengikuti segala yang viral di media sosial, seakan tak ingin ketinggalan dari apa yang sedang populer.
Sikapnya ini memperlihatkan kuatnya pengaruh FOMO (fear of missing out) yang mendorongnya untuk meniru gaya hidup ramai tanpa mempertimbangkan lagi nilai-nilai yang dulu ia pegang teguh.
Menurutnya, perubahan ini adalah bentuk cinta diri yang sesungguhnya, cara untuk menerima dan menunjukkan “diri yang asli.” Meskipun perubahan ini membuatnya merasa lebih bebas, namun sikap tersebut bertentangan dengan prinsip syariat yang pernah ia jalani dan pelajari. Bentuk self-love yang ia terapkan, meski mungkin membahagiakannya, membuatnya mengabaikan batasan agama yang dulunya sangat ia junjung tinggi.
Self-love atau cinta diri umumnya dipahami sebagai kemampuan menerima dan menghargai diri sendiri, termasuk semua kelebihan dan kekurangan.
Dalam Islam, konsep ini juga diajarkan, tetapi dengan makna yang lebih terarah. Self-love dalam pandangan Islam bukan hanya soal kebebasan berekspresi, tetapi juga tentang menjaga martabat dan ketaatan pada syariat.
Cinta diri sejati berarti merawat fisik, mental, dan spiritual dengan cara yang diridhai Allah, yang melibatkan tanggung jawab untuk mematuhi batasan agama, termasuk dalam berpakaian dan berperilaku. Berbeda dengan self-love yang bebas, cinta diri menurut Islam adalah yang menempatkan ketaatan dan kehormatan sebagai landasan utama dalam menghargai diri.
Bahaya FOMO dalam konteks agama
Fenomena FOMO (fear of missing out) di era digital mendorong banyak orang untuk mengikuti tren atau gaya hidup populer agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Tekanan ini sering kali membuat seseorang terdorong meniru apa yang sedang viral, bahkan jika itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dulu mereka pegang.
Gaya hidup serba “up-to-date” ini perlahan-lahan membuat mereka mengabaikan prinsip syariat atau nilai moral yang sebelumnya menjadi bagian dari identitas diri, demi terlihat relevan dan mengikuti arus budaya yang tengah ramai di media sosial.