OASE

Seni Jalani Kehidupan: Sabar dan Syukur hingga Ajal Menjemput

Dalam kehidupan seorang mukmin, tak ada satu hela napas pun yang mengalir sia-sia. Tak ada duka yang datang tanpa sebab, dan tak ada bahagia yang hadir tanpa hikmah. Semua telah dituliskan oleh Allah SWT sejak zaman azali.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22)

Ayat ini merupakan deklarasi teologis yang sangat kuat tentang konsep takdir dalam Islam. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Setiap kejadian baik berupa nikmat atau musibah adalah bagian dari rencana agung Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Banyak manusia berharap hidup berjalan sesuai rencana: pendidikan lancar, karier cemerlang, pernikahan bahagia, anak-anak sehat. Namun, realitas seringkali tak seindah harapan. Sakit datang tiba-tiba. Rezeki tersendat. Cita-cita tertunda. Doa belum kunjung dijawab.

Di titik ini, banyak orang merasa gelisah, bahkan mempertanyakan keadilan Tuhan. Padahal, justru inilah ladang untuk menumbuhkan iman: bagaimana seorang hamba belajar menerima dengan sabar dan bersyukur atas segala ketetapan-Nya.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terletak pada ridha terhadap takdir Allah, bukan pada seberapa lancar kehidupan yang dijalani.

Dalam menghadapi realitas kehidupan yang telah ditetapkan, Islam tidak mengajarkan sikap pasif, apalagi menyerah. Sebaliknya, Islam mengajarkan dua sikap aktif yang membentuk karakter mukmin sejati: sabar dalam ujian dan syukur dalam kelapangan.

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin! Semua urusannya adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Sabar bukan berarti menahan diri dalam ketidakberdayaan. Ia adalah ekspresi keteguhan hati, usaha maksimal, lalu menyerahkan hasil kepada Allah. Syukur pun bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi juga perwujudan rasa terima kasih dalam tindakan nyata: memperbaiki diri, berbagi kepada sesama, dan terus berada dalam jalan-Nya.

Allah tidak menciptakan hidup ini untuk menjadi surga yang sempurna. Dunia adalah tempat ujian. Kebahagiaan, kesedihan, kekayaan, kemiskinan, semua hanyalah instrumen untuk menilai siapa yang benar-benar mencintai Allah, bukan hanya mencintai karunia-Nya.

Ketika kita menerima ketetapan-Nya dengan lapang dada, sejatinya kita sedang melatih diri untuk menjadi hamba yang sejati. Dan puncak dari semua itu adalah kesadaran bahwa kehidupan dunia hanyalah fase singkat menuju kehidupan abadi.

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button