Sepakat! Atasi Pandemi dengan Taubat
Seruan Pak Presiden untuk banyak beristighfar dan taubat seharusnya disambut dengan baik. Hal tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Pak Joko Widodo pada Muktamar IV PP Persaudaran Muslimin Indonesia (Parmusi) tahun 2020 di Istana Bogor yang dilakukan secara virtual. Dalam sambutannya, Presiden Jokowi juga menyampaikan agar masyarakat tidak lupa mengingat Allah SWT di tengah pandemi Covid-19. (merdeka.com, 26/9/2020)
Sebuah seruan yang sangat bagus dan menggugah. Patutlah untuk bersegera melaksanakan. Secara syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh SWT, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.
Maka jika kita melihat kembali perjalanan pandemi, patutlah untuk melakukan evaluasi. Tentunya evaluasi ini haruslah dilakukan oleh negara yang berada di garda terdepan. Evaluasi untuk bisa menelisik apakah selama ini masih saja mengabaikan aturan Allah SWT ataukah sudah benar-benar melaksanakan seluruh aturan Allah SWT yang termaktub di dalam seperangkat syariat-Nya. Karena umat muslim sejati pastinya menyadari jika setiap perbuatan mengabaikan perintah Allah adalah bentuk dosa.
Terkait dengan pandemi, tidak bisa dipungkiri jika saat ini penularan virus semakin tak terkendali, jumlah korban terus bertambah, angka kematian bahkan melebihi rerata angka kematian di dunia. Maka sudah sepatutnya pemerintah sebagai pelindung rakyat bertaubat jikalau ternyata ada kebijakan yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan syariat.
Sejak awal, pak Presiden menolak adanya lockdown sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw di dalam menangani wabah. Lebih parah, kebijakan “new normal” akhirnya dipaksakan atas nama penyelamatan ekonomi negara. Wajarlah jika banyak pengamat epidemiologi menyatakan bahwa strategi “herd imunity” telah menjadi pilihan pemerintah.
Ironis! Begitu murahnya nyawa rakyat Indonesia di mata penguasa negeri ini. Padahal, Islam sangat menjaga satu nyawa manusia. Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi Allah daripada seorang Muslim yang terbunuh” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi). Maka, perlulah introspeksi, bukan sekedar simpati yang tak berarti.
Bahkan sedikitpun, bisa dikatakan selama ini tak ada empati. Contoh saja, ketika ada data ratusan lebih dokter yang harus meregang nyawa akibat covid-19, betapa ringannya kemenkes menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki ribuan dokter intership yang siap menggantikan. Begitu juga tanggapan presiden ketika mengetahui angka kematian di Indonesia melebihi rerata dunia, justru selalu menonjolkan angka kesembuhan pasien covid-19.
Fakta, kini pandemi semakin menjadi-jadi. Penambahan kasus positif hariannya sudah mencapai empat ribu lebih. Wabah corona pun telah mengubah rencana kerja pemerintah yang telah disiapkan sejak awal. Kini, ekonomi negara sedang berada di ambang resesi. Tak sedikit perusahaan yang tutup dan merumahkan sejumlah pegawai. Padahal, semua protokol kesehatan telah diupayakan namun tak juga menghentikan penyebaran wabah. Dan kini, ketika banyak ormas dan masyarakat menyarankan untuk pilkada ditunda, pemerintah justru bersikeras tetap melaksanakan. Ancaman di depan mata bertambahnya korban pasca hajatan tersebut tak bisa terelakkan.