Serius PDIP Ingin Memusuhi Islam?
Maka, menjadi lucu sekali bila “khilafahisme” diusulkan menjadi ajaran terlarang sebagaimana Komunisme, Marxisme, Leninisme dan Kapitalisme? Apakah Anda sejatinya anti Islam?
Sekali lagi, khilafah itu salah satu ajaran Islam. Perkara dilaksanakan atau tidak, itu bahasan lain. Sebagaimana ajaran-ajaran Islam lainnya, yang tetap disebut sebagai ajaran Islam meskipun tidak diterapkan seperti ta’zir, hudud, jinayat, dan jihad. Melarang khilafah berarti melarang Islam.
Bicara tentang pelaksanaan ajaran Islam, negeri ini memang anomali. Ajaran-ajaran Islam, bila ada nilai ekonominya, dengan semangat dilaksanakan. Bahkan negara membuatkan badan untuk mengurusinya.
Soal zakat, negara membuat BAZNAS. Soal wakaf, negara membuat BWI. Dana haji, dibuatkan BPKH. Urusan halal dibentuk BPJPH. Obligasi dibuatkan Sukuk. Keuangan Syariah dibuatkan KNEKS. Bahkan bila negara ingin menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur, MUI sudah mengeluarkan fatwa yang membolehkannya.
Kata jihad pun, sebenarnya pun digunakan. Walaupun tidak dalam makna syar’inya. Sebelum pada akhirnya Presiden Jokowi mengumumkan untuk berdamai dengan Corona, Menlu Retno Marsudi telah mengajak umat untuk memenangkan jihad melawan COVID-19.
Terkait RUU HIP, saya menduga PDIP tidak ingin kalah-kalah amat. Mereka memang kalah dalam soal TAP MPRS No. XXV/1966 dan konsep Pancasila, tetapi mereka ingin ‘mencuri’ poin dengan mengusulkan agar “khilafahisme” juga dilarang.
Sayangnya, PDIP lupa. Memukul ajaran khilafah itu berbeda urusannya dengan ‘memukul’ HTI. Melarang HTI, Anda hanya akan dilawan oleh anggota dan simpatisannya. Namun melarang khilafah, Anda akan dilawan oleh umat Islam keseluruhan. Kecuali mereka yang sekuler dan yang seideologi dengan PDIP.
Terakhir, sekadar mengingatkan agar PDIP tidak lupa. Pak Karno, sebagai Presiden RI, oleh para ulama NU pernah diberi gelar “Waliyyul Amri Addlaruri Bissyaukah.” Istilah Waliyul amri, itu sama saja dengan amir, imam, sulthan atau khalifah. Sebab secara fakta politik, Pak Karno saat itu adalah pemimpin. Namun secara normatif para ulama tidak berani menyebutnya sebagai khalifah. Maka keluarlah istilah tersebut sebagai hasil ijtihad siyasi para ulama saat itu.
Fahmi Ahmad
Warga Jakarta Selatan