Setop Budaya Ikut-ikutan
Seorang Guru Besar bercerita pengalaman menguji dalam sidang tertutup di kampus sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Ketika promovendus menyampaikan paparan desertasinya ia memulai dengan salam lengkap kekinian “Assalamu’alaikum wr wb, salam sejahtera bagi kita semua, shalom, om swastyastu, namo buddhaya, salam kebajikan”.
Guru Besar itu minta sidang ditunda. Diminta promovendus mengulang salam, karena tahu bahwa yang bersangkutan, maupun peserta sidang seluruhnya adalah muslim.
Salam lintas agama ini menjadi budaya yang dikembangkan dan disosialisasikan. Kadang tidak sesuai tempat. Bahkan bagi para pejabat seolah wajib untuk bersalam seperti ini. Padahal hal tersebut tidak memiliki landasan aturan yang jelas. Nampaknya ada ketakutan baru jika tidak bersalam lengkap maka dianggap intoleran, fanatik, bahkan radikal.
Salam keagamaan berdampak pada keimanan karena berkaitan dengan keyakinan dan tanggung jawab ketuhanan. Bagi muslim itu ada syariat yang bisa berkategori haram, halal, atau syubhat. Memasuki domain keagamaan orang lain bukan hal ringan, ada konsekuensi keagamaan pada masing-masingnya.
Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua simbol agama. Konsepsi dasarnya adalah masing-masing berjalan pada rel ajarannya. Menghormati akan adanya perbedaan bukan dengan memaksakan persamaan atau menyatukan. Inilah yang salah dalam menerapkan makna toleransi di negeri ini pada saat ini.
Dalam kaitan “ikut-ikutan” maka ajaran Islam menggaris bawahi prinsip “man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa ikut-ikutan pada budaya suatu kaum, maka ia adalah bagian dari kaum itu). Oleh karenanya budaya ikut-ikutan tanpa dalil yang mendasarinya merupakan perilaku buruk dan terlarang.
Tasyabbuh atau budaya ikut-ikutan dapat membahayakan keimanan jika yang diikuti itu adalah ritual atau dogma keagamaan umat lain. Membahayakan pikiran atau mindset ketika yang diikuti dapat membalikkan akal sehat, seperti toleransi yang dimaknai sinkretisme. Dapat juga membahayakan karakter atau kepribadian dimana identitas diri menjadi hilang. Muslim yang menjadi bukan muslim.
Karenanya salam lintas agama yang dibudayakan masif baik kepada institusi birokrasi maupun komunitas publik dengan tanpa memperhatikan penghormatan pada perbedaan keyakinan keagamaan, akan menjadi langkah kontra produktif dan rentan perpecahan. Pemaksaan sistematis adalah upaya yang tidak sehat.
Setop sinkretisme salam dari shalom hingga namo buddhaya. Hindari mencampurkan baurkan salam sejahtera dengan om swastyastu. Demi kebajikan bangsa maka tempatkanlah salam keagamaan pada proporsinya. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 26 Desember 2021