Si Bungsu, Ustadz Syuhada Itu Berpulang
MS Ka’ban, Ketum HMI Cabang Jakarta waktu itu, menemuiku di sela-sela rapat yang sedang berlangsung. Beliau laporkan secara garis besar peristiwa Tanjung Pariok, mengenai korban dan mereka-mereka yang ditahan. “Abang jangan pulang ke rumah lagi. Aparat sudah kepung rumah abang,” kata Ka’ban. Sejak itu, saya tidak pernah lihat lagi rumahku, sampai sekarang.
Ustadz Syuhada, ba’da dzuhur, menelponku. Beliau memberitahuku untuk tidak usah ke Masjid Al Munawarah. Hari itu, Kamis, usroh rutin kami di masjid Al Munawaroh. “Masjid Al Munawaroh sudah dikepung aparat,” katanya menjelaskan. Beberapa hari kemudian, pertemuan dilakukan di rumah ustadz Wafiuddin. Kawan-kawan laporkan aktivis yang ditangkap, antara lain: Abdul Qadir Djaelani, KH. Mawardi Noer, AM Fatwa, Tony Ardhi, dan Erlangga. “Kalau gitu, kuserahkan diri saja ke Laksusda,” kataku. Ustadz Syuhada justru melarang. Alasannya, jamaah nanti seperti anak ayam kehilangan induk. Sebab, mereka yang dianggap “pemimpin” lapangan, sudah ditangkap.
Diantar Si “Bungsu”
Saya bersama Mutamimul Ulla, Ketua Umum PB PII, menjumpai Pak Rajab Ranggasoli di restoran Geliga. Menurutnya, Abah Natsir perintahkan saya untuk segera hijrah ke Malaysia. “Saudara Syuhada yang mengurusnya nanti,” katanya. Ustadz Syuhada, suatu malam mengantarku ke rumah adik ipar di daerah Pluit. Saya harus menunggu mahasiswa IKIP Makassar yang akan mengantarku ke Malaysia. Namun, pemberangkatan ditunda karena mahasiswa tersebut harus ikut UTS.
Asisten pribadi Jenderal Nasution, Bakri menemuiku. “Ale musti capat tinggalkan Jakarta,” katanya dalam dialeg Ambon. Menurutnya, Jenderal Beni Murdhani sudah keluarkan perintah tembak di tempat terhadap diriku. Abah Natsir juga terima informasi itu dari Pak Rajab Ranggasoli, orang yang dekat dengan jenderal Naustuion. Ustadz Syuhada, atas perintah Abah Natsir segera memberangkatkanku ke Malaysia tanpa menunggu mahasiswa IKIP Makassar.
Malam itu, ustadz Syuhada dan Hafidz (?) menyerahkan diriku ke ustadz Abu Ridhoh di daerah Kalibata, Jakarta. Saya bersama Abu Ridhoh, Ketua GPII Jawa Barat, dan sopir menuju Sumatera. Pagi harinya, di Lampung, Abu Ridhah dan sopir kembali ke Jakarta. Saya dan Ketua GPII Jabar naik bus menuju Medan. Beberapa hari di Medan, saya pun menyeberang ke Malaysia.
Lebih kurang setahun di Malaysia, istri dan anak-anakku menyusul. Ustadz Syuhada mengurus keberangkatan mereka. Tiket pesawat terbang, paspor, dan fiskal, seluruhnya diurus beliau. Namun, ustadz Edi Suleman, Tangerang yang diamanahkan untuk mengantar istri dan tiga anakku ke Malaysia.
Haji Bersama Si Bungsu
Tahun 2008, pertama kali, saya dan istri menginjakkan kaki di bumi Arab. Kami berdua melaksanakan ibadah haji melalui Kementerian Agama. Sewaktu di Madinah, Petugas Haji dalam briefing, mengatakan, di Makah nanti, jamaah tidak nginap di Mina. Jamaah berangkat dari Makah langsung ke Arafah. Ku protes. Namun, alasan petugas, kemah di Mina belum dipasang. Saya manggut saja. Maklum, saya belum pernah ke Arab Saudi.
Di Makah, sewaktu kegiatan ziarah, kusaksikan perkemahan di Mina sudah terpasang. Indera keenamku sebagai orang KPK, ada “something wrong” dalam pelaksanaan haji. Kuhubungi ustadz Syuhada agar bisa bergabung dengan jamaah DDII. Malam hari sebelum ritual haji dimulai, ustadz Syuhada menjemputku dan istri di masjid yang berada sekitar kawasan Aziziyah.