Siapa yang Berhak Disebut sebagai Amil Zakat?
Bagian Marketing Apakah Termasuk Amil Zakat?
Apakah bagian marketing di dalam lembaga zakat termasuk amil zakat? Jawabannya dia termasuk amil zakat jika dia bekerja di lembaga tersebut secara resmi.
Apakah seseorang yang berceramah tentang zakat dan mengajak hadirin untuk membayar zakat, kemudian setelah terkumpul zakat, penceramah tersebut berhak mendapatkan bagian dari zakat? Jawabannya, bahwa jika sang penceramah tersebut adalah salah satu pengurus lembaga amil zakat sebagai bagian marketing atau pimpinannya atau bagian lainnya, maka dia berhak mendapatkan bagian zakat dari profesinya yang bekerja di lembaga zakat bukan sebagai penceramah tentang zakat.
Jika sang penceramah bukan dari pengurus lembaga zakat, tetapi diminta oleh lembaga zakat untuk memberikan pengarahan tentang zakat dan memberikan motivasi agar jamaah yang hadir mengeluarkan zakat, sebaiknya dia tidak diberi bagian zakat yang terkumpul, tetapi diberi fee atau hadiah atau tanda terimakasih atau uang transport dari sumber yang lain selain zakat, seperti infak, sedekah dan hibah.
Dan hendaknya tidak ada perjanjian sebelumnya tentang jumlah yang akan diterima sang penceramah, dan hadiah itu diberikan setelah selesai ceramah. Ini dilakukan agar orientasi sang penceramah itu adalah dakwah dan mengajak orang kepada kebaikan, bukan orientasi sebagai seorang pegawai atau pekerja yang menuntut gaji.
Sebagian ulama membedakan antara amil alaiha dengan amil fiha, kalau amil aliha berarti yang diberi wewenang untuk mengurusi zakat oleh Negara, sedang amil fiha adalah pegawai yang bekerja di dalamnya untuk mengurusi zakat. Tetapi kedua-duanya berhak mendapatkan zakat. (Syarhu al-Mumti’: 2/ 518)
Berapa Besar Bagian Amil Zakat ?
Sebagian kalangan mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari jumlah seluruh zakat yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah satu golongan, sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat yang terkumpul.
Tetapi pendapat ini kurang tepat, karena delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu lengkap dan ada, seperti golongan “fi ar-riqab“ (budak) hari ini tidak didapatkan atau jarang didapatkan, walaupun sebagian kalangan memperluas cakupannya seperti orang yang dipenjara. Seandainya semua golongan itu ada, tetap saja jumlahnya tidak sama dengan lainnya, sehingga kalau dipaksakan masing-masing golongan mendapatkan seperdelapan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan mendhalimi golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya sangat banyak, seperti golongan fakir miskin.
Adapun pendapat yang lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan tersebut harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang, dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri
Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi karena kedudukannya sebagai amil zakat. Wallahu A’lam.
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Direktur PUSKAFI Jakarta
sumber: ahmadzain.com