Sikap Kritis Dibungkam, Kebenaran Hanya Diam
Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik. Salah satu yang menjadi variabel yakni hak menyatakan pendapat. Indikator pun menjumlahkan hasil survei sangat setuju dengan agak setuju. Hasilnya, mayoritas setuju bahwa kebebasan sipil mulai terganggu.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen, makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa 57,7 persen (Merdeka.com, 25/10/2020).
Selain itu, rentetan tudingan bahwa rezim Joko Widodo identik dengan zaman Orde Baru alias Orba di era Presiden ke-2 RI Soeharto terus terdengar di momen satu tahun pemerintahannya bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menggaung bersama aksi menolak UU Ciptaker. Unjuk rasa di jalan, hingga ada yang mengupayakan melawan di Mahkamah Konstitusi.
Tudingan rezim Jokowi bernuansa Orba sebenarnya pun bukan baru terdengar pertama kali di tengah demo tolak UU Ciptaker. Hal itu sebagaimana yang disampaikan pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan terdapat tiga indikator yang bisa mengonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan Orba. Pertama, pembatasan kebebasan sipil. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari cara pemerintah merespons kritik publik, baik dari langkah mengondisikan media massa hingga mengkriminalisasi aktivis.
Indikator kedua, menurut Khoirul, bisa dilihat dari cara pemerintah memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Menurutnya, indikator ini telah dikonfirmasi oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.
Indikator terakhir, menurut Khoirul, terlihat dari ‘perselingkuhan’ antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. Menurutnya, perselingkuhan itu telah terlihat terjadi sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker (Cnnindonesia.com, 22/10/2020).
Survei dan peryataan para tokoh tersebut jelas bukan tanpa alasan, sebab realita pun begitu tampak di depan mata. Jadi jangan salahkan masyarakat jika saat ini mereka minim kepercayaan terhadap mereka yang memutuskan kebijakan publik yang konon untuk kepentingan rakyat. Sayangnya, walau pernyataannya katanya pro rakyat, namun atmosfer yang dirasakan lebih kepada kepentingan para korporat.
Kalau sudah begitu, di mana janji mereka saat dipilih oleh rakyat pada waktu pemilihan yang katanya akan menyejahterakan rakyat. Apakah benar janji itu hanya sekadar kata-kata tanpa ada aksi nyata? Entahlah, cukup fakta yang berbicara dan membuktikan akan hal itu.
Lebih disayangkan lagi saat masyarakat yang hendak menyampaikan kritikan terhadap para pejabat publik yang condong pada kepentingan pengusaha tak sedikit di antara mereka dikriminalkan dan berbagai jenis tindakan represif lainnya.
Lalu di manakah, realisasi dari bunyi pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang? Apalah guna aturan dibuat jika tak dilaksanakan.
Karena itu, tak berlebihan jika sistem demokrasi melahirkan negara korporasi dan negara polisi (represi). Konon mewadahi perbedaan, namun sayangnya nampak retorika belaka. Karena faktanya, sikap kritis rakyat terhadap kebijakan pejabat pemerintahan dibungkam bila mengganggu kepentingan korporasi. Hal itu terbukti banyak standar ganda dalam menyikapi kritik rakyat .
Jika telah seperti itu, ke manakah rakyat mesti mengadukan nasib mereka? Padahal rakyat memilih para pejabat publik dengan harapan mereka mampu mengurus berbagai urusan rakyat dan memberi solusi atas berbagai masalah yang ada.
Dari itu, saat ini nampak begitu jelas sikap kritis dibungkam, akhirnya kebenaran hanya diam. Sebab, berbagai konsekuensi telah membayangi orang yang tegas mengkritik kebijakan yang dibuat pejabat publik. Sehingga tak heran jika mengatakan kebenaran pada hari ini tidak mudah dilakukan, kecuali bagi orang-orang yang telah siap menerima risiko atas kebenaran atau kritikan yang ia sampaikan.
Berbeda dalam Islam, yang mana sistem Islam bukan negara anti kritik. Karena islam menetapkan standar dan batasan yang baku dalam menyikapi perbedaan pandangan antara rakyat dengan penguasa. Sebab, tidak ada standar ganda dalam melihat perbedaan pendapat tersebut.
Selain itu, dalam sistem Islam pun terdapat majelis umat yang mana mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintah. Karena sejatinya majelis umat berkewajiban mengontrol serta mengoreksi tugas-tugas dan kebijakan-kebijakan para penguasa. Sebab, muhasabah terhadap penguasa dan mengubah perilaku mereka, jika penguasa melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajiban terhadap rakyat, mengabaikan urusan rakyat, menyalahi hukum islam atau memutuskan hukum tidak berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah.
Oleh karena itu, selama sistem anti kritik dijalankan, maka kritik yang sifatnya membangun akan dianggap penentangan atau bahkan ancaman. Hal itu jelas akan membungkan sikap kritis masyarakat. Karena itu, hanya dengan mencontoh sistem pemerintahan yang berdasarkan aturan-Nya, maka muhasabah kepada para pejabat pemerintahan akan dibuka selebar-lebarnya, selama muhasabah yang dilakukan sejalan dengan ketetapan-Nya. Wallahu a’lam bisshawaab.
Fitri Suryani
(Guru dan Penulis di Konawe, Sultra)