Silent Generation: Politik tanpa Identitas
Itu patut dicurigai dan diwasapadai, soalnya sekurun Indonesia itu tengah dicirikan diidapi dan dihinggapi bangkitnya “hantu sejarah” itu:
Awal mulanya dengan kemunculan idiologi politik komunisme dengan berkiprahnya PKI — yang kemudian dengan adanya “penguatan” legimitimasi Nasakom oleh The Founding Father Soekarno penciptanya sendiri yang tak disadarinya dikhianatinya bak menusukkan pedang ke tulang punggung belakangnya— setelah gagal mengudetanya mengorbankan pula tewasnya tujuh anggota Dewan Jenderal yang difitnahkannya, semenjak itu PKI dengan idiologi komunismenya menjadi bahaya laten yang sesungguhnya lebih dari sekedar komunisme fobia, tetapi ekstremisme akut yang sudah sangat terlarang keberadaannya.
Tetapi, oleh kekuatan oligarki berbareng dengan rezim penguasa dari “silent generation “ alias pemegang politik tanpa identitas atau “organisasi tanpa bentuk ” itu saat ini dibuat propaganda berefek buruk dengan diduplikasikannya sesungguhnya apa yang pernah dilakukannnya kepada musuh politiknya yang “abadi” mendeterminasi ekstremisme politik dengan mengatributi bahwa iidentitas Islam menjelma menjadi Islamophobia seolah menakutkan dengan palang tiga biang kerok: intoleransi, radikalisme dan terorisme. Dan itu sekaligus diintroduksikan oleh aneksasi globalisme yang juga mengakui jika Islamophobia itu memang ada.
Padahal, Islam di Indonesia itu mayoritas, tak berkorelasi satu pun dengan adanya interelasi jaringan dengan terorisme global maupun kelompok ekstremis domestik yang keniscayaannya sesungguhnya hanya terlalu represivitas oleh rezim “dipaksakan” pembubarannya, seperti diberlakukan pada HTI dan FPI.
Justru Itu. selama ini sama saja dengan banyaknya upaya rezim mempersekusi dan mengkriminalisasi para ulama dan habaib, bahkan para tokoh intelektual akademis yang mengambil posisi oposan perlawanan mengkritisi rezim pemerintah penguasa itu yang memang semakin menggejala menjadi otoriterisme.
Jadi, persekongkolan antara oligarki korporasi, rezim penguasa dari silent generation itu mempropagandakan politik identitas itu kepada dan menjadikan paradigmatis Islamofobia —jika perlu menjadi “hantu” seperti dirinya dulu. Bahkan, sampai menyeret tuduhan dan fitnahan kepada Khilafah yang katanya akan menggantikan Pancasila.
Padahal, itu mindset rekayasa mereka sendiri yang mulai “ketakutan” dikarenakan mulai ketahuan penampakkan aslinya: indikasi katalisator politiknya yang ternyata lebih sangat berbahayanya yang difitnahkannya kepada Islam: mulai merepresivitas kedaulatan negara mengambilalihnya dari tangan rakyat.
Untungnya, ada era reformasi ditandai terjadinya amandemen UUD 1945 membatasi masa jabatan Presiden hanya 2 (dua) periode: membuka peluang ke arah transisi perubahan, jika NKRI ini hendak diselamatkan dengan mengembalikan sepenuhnya, bukan sebagai negara komunis kapitalistis yang bisa jadi kemudian berubah menjadi negara oligarki kelak, melainkan memulihkan kembali keutuhan dan kekokohan negara demokrasi Pancasila.
Dan untuk keberhasilan mencapai transisi ke arah perubahan itu, bisa diidentifikasi anasir-anasir komponen pendukungnya yang akan sekuat tenaganya akan mempertahankannya:
Melalui komponen mantan partai-partai oligarki, sukarelawan politik jadi-jadian dan bayaran, komplotannya termasuk lembaga-lembaga survey elektabilitas dan sokongan dari banyak personal buzzeRp yang turut merusak dan mencurangi tatanan demokrasi nanti di Pilpres 2024. Bahkan juga lembaga dan komisi tinggi negara, termasuk kekuatiran akan terjadinya kecurangan lembaga penyelenggara Pemilu dan Pilpres sendiri, KPU dan Bawaslu:
Dengan aktor utama pemboncengnya yang berada di belakang layar oligarki korporasi yang kini semakin insten terkoneksi ke negara China Tiongkok biang dan sentral komunisme mondial.