Simalakama Larangan Perkawinan ‘Anak’
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sedang menggodok rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan dispensasi kawin (cnnindonesia.com, 19/03/2021). Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak.
Sebenarnya, telah ada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Ada sepuluh asas yang digunakan oleh hakim untuk mengadili permohonan dispensasi kawin. Yaitu, kepentingan terbaik untuk anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Namun Kemen PPPA merasa perlu menggodok peraturan lagi untuk lebih selektif dalam pemberian dispensasi kawin. Diakui oleh Kemen PPPA, ada peningkatan permohonan dispensasi kawin di 18 provinsi. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri PPPA dalam sambutan acara “Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia”, yang disiarkan secara daring, Kamis (18/3).
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi menyebut beberapa faktor pendorong perkawinan anak. Salah satunya yaitu faktor sosial budaya, pandangan menikah dapat menghindarkan perbuatan zina serta untuk menjaga nama baik keluarga.
Selain Menteri PPPA dan Menkes, ada Menag Yakut Cholil Qoumas. Ia membeberkan dampak dari perkawinan anak yaitu KDRT, instabilitas keluarga, kesehatan bahkan subordinasi perempuan.
Nyaris semua lini kehidupan yang diatur oleh sistem kapitalis sekuler liberal mengalami masalah. Pangkal persoalannya, dicampakkannya aturan Allah dalam kehidupan. Sehingga, apa yang Allah SWT katakan dalam surah Thaha ayat 124 pun terwujud.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha ayat 124).
Termasuk perkawinan. Selalu ada masalah yang menyertai rumah tangga yang dibangun di sistem kapitalisme. Tak peduli diusia berapa pernikahan dilangsungkan. Sistem ini tak pernah memberikan pendidikan pra nikah, yang ada hanya pendidikan seks sejak tingkat SD.
Sekularisme mencetak manusia yang split kepribadian, apatis, dan minim tanggung jawab. Ketika dirundung masalah, bukannya menyelesaikan malah lari dari masalah. Terlihat dari angka pergaulan bebas yang meningkat, berbanding lurus dengan angka aborsi dan prostitusi remaja.
Pergaulan bebas hingga berujung zina dan kehamilan tak diinginkan. Bukan bertanggung jawab justru melakukan aborsi. Atau lebih tragisnya, bunuh diri bersama kekasih. Inilah potret generasi sekuler yang liberal. Hingga ketika generasi seperti ini membangun rumah tangga, entah diusia berapapun, tetaplah bermasalah.
Nihilnya peran negara dalam melayani rakyat menambah beban rumah tangga. Sistem ekonomi kapitalisme hanya melayani para kapital, rakyat dijadikan mesin ekonomi demi mengisi gudang uang si kapital.
Kepala rumah tangga yang diwajibkan mencari nafkah, harus bersaing dalam mencari pekerjaan. Bersaing dengan tenaga kerja asing dan perempuan. Ingin berwirausaha, modalnya ribawi, bersaing dengan produk impor yang lebih murah.
Gaji yang minim harus dikelola seketat mungkin. Tersebab basic need tak disediakan secara gratis dan manusiawi. Biaya perumahan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya bahan bakar, biaya listrik dan air, menempati cost tertinggi dalam pengelolaan gaji rumah tangga.