Sinari Papua dengan Cahaya Islam
Papua, pulau terluar Indonesia bagian timur sedang dilanda ujian. Kerusuhan demi kerusuhan terjadi. Korban pun berjatuhan. Warga mengungsi meninggalkan segala penghidupan di daerahnya. Bumi timur menangis.
Penyidik kepolisian menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kerusuhan di Wamena. Mereka dijerat pasal 170 KUHP tentang pengrusakan, pasal 351 KUHP tentang penganiayaan hingga pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Seperti yang diketahui sebelumnya, kerusuhan di Papua ini banyak menelan korban hingga meregang nyawa. Baik dari dalam daerah sendiri maupun para pendatang. Kepolisian Wamena kini bekerja sama dengan kepala suku dan tokoh setempat untuk menjamin keamanan masyarakat (Liputan6.com, 01/10/2019). Saat ini jumlah pengungsi mencapai angka yang cukup besar. Kapolda Papua mengatakan bahwa ada sekitar 4.656 warga keluar Wamena ke Jayawijaya (DetikNews 01/10/2019).
Kejadian di Papua bukalah kejadian biasa. Pasalnya telah banyak korban berjatuhan akibat kerusuhan ini. Tahun ini, kerusahan Papua diawali dengan adanya pemberitaan diskrimiasi Mahasiswa Papua oleh oknum aparat keamanan. Berita tersebut ditambah-tambahi dengan berita hoax hingga terdengar oleh rakyat Papua. Sontak rakyat Papua marah dan memblokade jalan hingga membakar gedung DPRD di Manokwari, Papua. Kerusuhan mulai mereda. Namun timbul lagi di wilayah berbeda, Wamena. Ada apa dengan Papua?
Papua, pulau di wilayah paling timur Indonesia ini banyak mengandung kekayaan alam. Emas, tembaga, nikel hingga uranium sebagai bahan baku nuklir pun ada di dalamnya. Pantas jika pulau ini menjadi incaran banyak negara asing yang mau menguasainya.
Ada keterkaitan dengan kerusuhan di Papua agar PBB turun tangan dan menyelesiakan kasus keinginan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia. Namun sayang-sungguh sayang. Upaya PBB pun dinilai hampir sama dengan kasus Timor Timor yang lepas dari Indonesia setelah diadakannya jajak pendapat. Tentu rakyat Indonesia tak ingin Papua lepas begitu saja. Pemerintah harus waspada ada oknum yang sengaja memicu kerusahan agar kondisi semakin buruk hingga tuntutan pemisahan diri dari bumi pertiwi dikabulkan. Jika ini terjadi, Indonesia akan menambah catatan merah di tahun ini.
Peristiwa yang terjadi di Papua membuktikan bahwa ada pihak yang berkepentingan menginginkan Papua lepas dari NKRI. Artinya, oknum tersebut pastilah bukan pihak dari Islam yang selama ini dikatakan memecah belah NKRI. Justru Islam hadir untuk menyatukan negeri bahkan dunia dalam satu kepemimpinan Islam, sistem yang lahir dari Allah Pencipta alam dan semesta.
Sebagaimana tugas negara pada umumnya, Islam akan memperhatikan kebutuhan rakyatnya, baik yang ada di pusat negara sampai wilayah perbatasan. Tidak ada diskriminasi antar keduanya. Sehingga kebutuhan rakyat dari ujung utara hingga ujung selatan, dari ujung barat hingga ujung timur merasakan periayahan (pengaturan) negara terhadap dirinya.
Tentu dana yang digunakan untuk meriayah rakyat adalah dari kekayaan negara, yang dikelola oleh negeri sendiri, bukan diserahkan kepada asing.
Seperti sabda Rasulullah Saw, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan demikian, kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi tanpa harus impor atau bahkan berhutang keluar negeri. Hal ini sangat berbeda dengan konsdisi hari ini dimana sebagian besar sumberdaya Indonesia telah dikeruk dan dikuasai asing. Rakyat tak mendapat apa apa.
Islam menolak adanya diskriminasi. Islam memandang bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat Allah. Tidak ada yang mampu memecah belah hanya karena berbeda ras, kulit, maupun suku. Yang membedakan hanyalah ketakwaannya kepada Allah. Allah berfirman,
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13).
Begitu pula dengan perbedaan agama. Tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Namun toleransi yang dilakukan haruslah sesuai dengan syariat Allah, bukan dengan akal manusia. Bagi muslim, jelas batas toleransi yang tercantum dalam surah Al Kaafirun ayat 6, “untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256).
Kebutuhan keamanan pun demikian. Negara akan menjamin kemanan tiap rakyatnya. Akan ada aparat kepolisian yang senantiasa bertugas mengatur keamanan. Jika kerusuhan terjadi dan pihak kepolisian tak mampu mengatasi, maka Khalifah (pemimpin negara) akan mengutus pasukan militer untuk membantu hingga kondisi negeri aman. Sehingga tidak terjadi kasus kerusuhan seperti yang terjadi di Papua.
Tentu, negara yang aman, damai dan tentram dengan Islam bukanlah sebuah dongeng, atau cerita fiksi lainnya. Faktanya, sistem Islam pernah ditegakkan hingga 14 abad lamanya. Peradaban Islam berlangsung dari zaman Rasulullah hingga masa Kekhilafahan Ustmani tahun 1924. Disanalah kedamaian benar-benar terwujud meskipun warga negaranya bukan hanya muslim, namun mereka saling berdampingan. Mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Islam.
Islam datang membawa cahaya kemuliaan bagi manusia dan alam semesta. Allah berfirman, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)
Tentu tidak akan terwujud jika Islam hanya diterapkan pada aspek individu saja. Maka penerapan Islam dalam suatu sistem mutlak dibutuhkan untuk menyinari dunia, termasuk Papua. Jadi, sudah saatnya sinari Papua dengan cahaya Islam!
[Eriga Agustiningsasi, S.KM]