Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Paling Berani di Indonesia (2)
Sjafruddin sejak kecil telah dididik Islam oleh orang tuanya. Umur empat atau lima tahun ia telah dilatih shalat dan puasa. Ia pun telah diajar untuk membaca Al-Qur’an, meski tanpa artinya.
Suasana di Banten, memang penuh dengan warna Islam. Anak-anak di sana terbiasa mengaji di surau atau masjid. Suasana yang Islami itu ia tidak dapatkan ketika ia mengikuti ayahnya pindah ke Ngawi (1924). Sjafruddin bercerita, ”Sesudah pindah ke Ngawi, baru kami sadar bahwa Banten adalah daerah Islam dan Madiun bukan atau hampir bukan. Artinya di Banten tidak ada perbedaan antara kaum putihan dan kaum abangan. Semua adalah putihan. Semua, dari anak-anak umur enam tahun ke atas dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, menjalankan ibadah, sembahyang dan puasa. Langgar-langgar dan masjid-masjid tersebar dimana-mana. Dan di musim haji orang berlomba-lomba mengunjungi tanah suci untuk menjalankan rukun Islam kelima. Di Ngawi sebaliknya, dan di daerah Madiun umumnya, kaum putihan yang taat menjalankan ibadah Islam merupakan minoritas rakyat yang kecil. Selebihnya adalah rakyat abangan yang hanya disunat secara Islam, kawin secara Islam dan kalau dikubur secara Islam. Tapi dalam hidup sehari-hari tidak nampak pengaruh Islam dan rakyat tidak segan-segan makan daging babi yang di Banten dipandang sebagai sesuatu yang sangat menjijikkan. Bulan puasa tidak berbeda dengan bulan-bulan lainnya: orang makan, minum dan merokok dimana-mana, di kantor, di warung, di jalan. Hanya hari raya Idul Fitri dirayakan.”
Setelah dari ELS, Sjafruddin melanjutkan sekolahnya ke MULO di Madiun. Tamat dari MULO, ia melanjutkan sekolahnya ke AMS Bagian A di Bandung. Ia sudah lama minat dalam bidang kesusastraan. Sejak masih di ELS, Sjaruddin telah gemar membaca. Baik membaca buku, majalah maupun surat kabar. Masih diingatnya buku Robinson Crusoe karya Daniel Defoe yang dibacanya ketika ia masih duduk di kelas II ELS. Buku itu sangat mencekamnya dan merangsangnya untuk membaca buku yang lainnya lagi.
Karena tidak ada pengarahan yang diberikan kepadanya dalam hal memilih bacaan, maka dia baca buku apa saja yang sampai ke tangannya. Buku-buku karya Charles Dickens misalnya sudah banyak dibacanya saat ia masih duduk di ELS. Begitu juga karya para pengarang Eropa lainnya yang masyhur. Sehingga pada waktu itu ia sudah mengenal dengan baik karya-karya utama kesusastraan Eropa khususnya dan dunia umumnya. Tentu saja semuanya dibaca dalam terjemahan bahasa Belanda, karena pada waktu itu di ELS belum mempelajari bahasa asing yang lain.
Selain membaca buku-buku di sekolah, Sjafruddin juga membaca buku di rumah. Perpustakaan yang dimiliki ayahnya cukup banyak bukunya. Ayahnya juga berlangganan surat kabar Belanda, yaitu Java Bode dan Handelsblaad. Karena banyak membaca buku berbahasa Belanda, maka kemampuannya dalam bahasa Belanda jauh melebihi kawan-kawannya sekelas, meski mereka itu anak-anak Belanda sendiri.
Di AMS ia makin gemar membaca. Di sini ia mulai menikmati buku-buku tentang sosialisme dan komunisme. Saat itu ia sudah membaca buku Karl Marx yang berjudul Das Kapital dalam bahasa Jerman. Ia juga membaca buku Manifesto Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan sahabatnya Engels.
Ketika ia membaca buku-buku komunisme itu pikirannya mulai guncang. Beberapa tahun lamanya ia merasakan keguncangan itu. Saat itu buku-buku Islam belum banyak terjemahan. Ia baru bisa membaca Al-Qur’an dengan terjemahnya bahasa Belanda oleh Soedewo pada tahun 1934.
Tamat dari AMS, ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hoge School) pada 1931. Ia sebenarnya kurang cocok kuliah di sini, sehingga sekitar tiga tahun studinya sempat mandeg.
Pada Maret 1939, tiba-tiba ayahnya meninggal. Kepergian ayahnya di Kediri itu, membuat Sjafruddin sadar. Ia adalah seorang Muslim yang yakin adanya Allah Yang Maha Kuasa dan sadar bahwa maut sewaktu-waktu bisa terjadi. Ia pun segera menyelesaikan kuliahnya setelah ayahnya wafat. Pada September 1939 ia lulus sebagai Sarjana Hukum (Meester in de Rechten).
Sjafruddin pernah diramal oleh seorang Belanda bahwa ia akan menjadi orang hebat. Dalam perjalanannya ke Kediri dengan kereta ekspres De Eendaagse (Si Sehari Sampai), ia duduk berhadapan dengan seorang nyonya Belanda yang umurnya sekitar 40-50 tahun. Ia heran kenapa wanita itu terus memandangnya. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada wanita itu kenapa berbuat demikian.
Wanita itu, setelah tersenyum seperti minta maaf, kemudian berkata,”Marilah saya perkenalkan diri saya dahulu. Saya adalah Nyonya Bonner, masih keturunan Rusia. Saya dikaruniai Tuhan dengan kemampuan melihat ke belakang dan ke depan. Saya seorang clair-voyante. Saya tertarik kepada Tuan, karena saya lihat di masa depan Tuan akan memegang peranan yang amat penting.”